Liputan6.com, Milan - Apa saja sisa-sisa kejayaan Romawi Kuno yang diwariskan hingga generasi saat ini?
Banyak. Antara lain mandi air hangat di bak, sistem toilet publik dengan WC duduknya, dan terciptanya tisu serta wastafel cuci tangan. Tapi, ternyata, itu semua justru meninggalkan sesuatu yang mengerikan bagi kesehatan manusia generasi selanjutnya.
Belakangan terkuak, penduduk Romawi tinggalkan kutu, tuma, parasit dan bakteri yang terkontaminasi dari feses manusia. Juga, cacing pita yang dihasilkan oleh para juru masak saat mengawetkan kecap ikan mereka yang terkenal.
Advertisement
"Anda mengira (temuan Romawi Kuno) membuat populasi lebih sehat, tapi ternyata tidak... mungkin, bau badan mereka saja yang lebih baik," kata Piers Mitchell, ahli parasit purba dari Universitas Cambridge, seperti dilansir dari The Guardian, Jumat (8/1/2016).
Mitchell menemukan bukti parasit cacing pita -- yang dahulu dikaitkan dengan ikan mentah atau acar di Skandinavia -- tidak ada hingga Romawi datang.
Ia percaya pelakunya adalah garum, kecap paling terkenal buatan Romawi yang terbuat dari fermentasi ikan mentah.
Baca Juga
Cacing itu melilit di usus orang-orang Romawi. Parasitnya bisa menghilangkan nutrisi dari makanan sebelum dapat dicerna, yang bisa menyebabkan anemia berat atau bahkan fatal.
Bukti dari beberapa situs perkuburan Romawi di Italia mengungkapkan bahwa hingga 80% dari kerangka anak yang dimakamkan di sana memiliki bukti anemia berat.
Penelitiannya, yang diterbitkan minggu ini dalam Journal of Parasitologi, telah mengumpulkan bukti-bukti arkeologi - dan sampel feses - dari situs di seluruh dunia Romawi.
Kesimpulannya adalah bahwa orang-orang Romawi mungkin lebih beradab, tapi tidak bebas dari penyakit.
Wariskan Kutu Kemaluan
Bukti itu ditemukan di tulang mereka, dan di benda-benda yang ditemukan di situs Romawi. Orang-orang Romawi juga menyebarkan kutu kemaluan, hewan yang mungkin telah menyebarkan kasus pertama penyakit pes di Eropa.
Infeksi bakteri dan parasit usus termasuk cacing gelang, dan cacing pita ikan, yang disebarkan oleh gaya kuliner mereka hingga ke negara-negara di mana sebelumnya mereka tidak pernah terkena penyakit itu.
"Orang-orang Romawi terkenal dengan kepiawaian mereka dalam perbaikan dramatis untuk sanitasi, dan hobinya untuk mandi secara reguler, air minum yang bersih, toilet umum serta penghapusan, sistematis ceceran kotoran manusia," kata Mitchell.
"Karena kita percaya semua hal itu meningkatkan kesehatan manusia, namun, ternyata mereka jauh lebih penyakitan dibanding di masa pra-Romawi."
Salah satu masalah mungkin datang dari inovasi mereka yang paling terkenal: suite mewah pemandian air panas untuk umum di setiap pemukiman Romawi yang besar. Mitchell mengatakan bahwa sistem itu mengharuskan air diganti sesering mungkin, namun kenyataannya tidak. Bergantung pada kapan para budak sempat mengerjakannya.
Akibatnya, tanpa mereka sadari, bakteri berkembang biak. Dan para pemandi tertular bakteri satu sama lain.
Dibandingkan dengan situs Viking yang tidak punya kebiasaan mandi, tubuh mereka jauh lebih sehat bebas dari bakteri dan parasit.
Meskipun mereka memperkenalkan sistem pembersihan dan pembuangan kotoran manusia, namun kotoran itu malah tersebar di ladang sekitar kota-kota, menjadi pupuk tanah yang sangat baik tetapi bisa mencemari tanaman (yang kelak dikonsumsi oleh mereka) dengan bakteri dan telur parasit.
"Jika kotoran telah menjadi kompos selama setahun, sudah cukup untuk membunuh telur parasit - tetapi mereka tidak tahu soal itu," katanya.
Sisa-sisa kutu dan tuma juga ditemukan di sisir halus di situs Romawi, bersama dengan telur parasit. Beberapa akan membuat penderita luar biasa gatal; bahkan bisa membunuh mereka.
Kutu tubuh bisa menyebarkan tifus. Wabah Justinian, yang dimulai di Konstantinopel pada abad ke-6 memberikan kontribusi terhadap penurunan kekaisaran timur, diyakini telah menjadi wabah pes yang disebarkan oleh kutu.
Dokter Romawi menyadari masalah parasit, tetapi beberapa obat yang disarankan, termasuk membiarkan darah mengalir, hanya akan membuat korban lemah.
Mitchell mengatakan penelitiannya telah membuatnya merasa simpatik terhadap orang-orang Romawi, yang punya gairah untuk mandi air panas namun tidak bisa menyelamatkan mereka dari kutu dan penyakit.
"Saya pikir pekerjaan saya di rumah sakit juga seperti itu, di mana saya masih melihat banyak kondisi yang sama. Hal itu telah memberi saya empati kepada orang Romawi yang malang."
Â
Advertisement