Liputan6.com, Jakarta - Para astronom berhasil mendeteksi supernova paling dahsyat yang pernah diamati. Bintang yang meledak tersebut pertama kali diamati Juni tahun lalu saat masih memancarkan energi dalam jumlah besar.
Pada puncaknya, ledakan bintang ini kekuatannya 200 kali lebih dahsyat dibandingkan supernova -- ledakan dari suatu bintang di galaksi yang memancarkan energi lebih -- lainnya, yang membuatnya bersinar 570 miliar kali lebih cerah dibandingkan matahari.
Para peneliti menduga kalau sebuah magnetar -- suatu obyek sisa yang sangat padat dan sangat bermagnet -- berperan dalam mendorong ledakan serta aktivitas yang sedang berlangsung ini.
Advertisement
Magnetar, yang tercipta selagi supernova berlangsung, kemungkinan tidaklah lebih besar ukurannya dari kota-kota semisal London, dan kemungkinan berputar dengan kecepatan luar biasa -- sekitar 1.000 kali per detik.
Baca Juga
Namun obyek ini kemungkinan juga melambat. Selagi ia melambat, objek ini mengalihkan energi rotasinya menjadi kumpulan gas dan debu yang meluas yang dihamburkan dalam ledakan tersebut.
"Idenya adalah bahwa obyek di pusat ini sangat padat. Massanya mungkin sebesar matahari, serta sampah yang jadi tempatnya melepaskan energi massanya sekitar 5 hingga 6 kali massa matahari, dan meluas dengan laju sekitar 10.000 km/detik," jelas anggota tim peneliti Prof. Christopher Kochanek dari Ohio State University, Amerika Serikat, saat menjelaskan proses supercharging supernova seperti dikutip dari BBC, Sabtu (16/1/2016).
"Trik dalam mempertahankan supernova agar berlangsung lama adalah terus membuang energi ke dalam sampah yang mengembang ini selama mungkin. Begitulah cara mendapatkan ledakan yang maksimal," ungkapnya lagi dalam program Science In Action di BBC World Service.
Supernova yang sangat terang ini (super-luminous supernova), dideteksi sekitar 3,8 miliar tahun cahaya jauhnya dari Bumi oleh All Sky Automated Survey for SuperNovae (ASAS-SN).
ASAS-SN ini menggunakan rangkaian lensa panjang Nikon yang berlokasi di Cerro Tololo, Chili, untuk mendeteksi kecerahan tiba-tiba di langit. Observasi lebih lanjut dengan fasilitas yang lebih besar kemudian dilakukan untuk menyelidiki suatu target dengan lebih terperinci.
Tujuan dari ASAS-SN ialah untuk mendapat statistik yang lebih baik dari berbagai jenis supernova serta dimana lokasi terjadinya di alam semesta.Para astronom sejak lama telah terpesona oleh ledakan raksasa ini, dan telah menyadari betapa pentingnya supernova dalam memahami bagaimana alam semesta ini berevolusi.
Bukan hanya membentuk unsur-unsur kimia berat di alam, gelombang kejut yang dihasilkannya juga mempengaruhi alam semesta, menggerakkan gas dan debu yang menjadi sumber pembentukan bintang-bintang baru.
Bintang yang menghasilkan supernova dalam penelitian ini berukuran raksasa -- kemungkinan 50 hingga 100 kali massa matahari. Bintang semacam ini awalnya sangat tebal, namun selanjutnya melepas banyak massanya lewat angin dahsyat yang berhembus ke angkasa luar. Akibatnya, di ujung hidupnya, ukuran bintang ini kemungkinan sudah menyusut amat drastis.
"Ukurannya mungkin sudah kecil pada saat kematiannya, tidak jauh lebih besar dari ukuran bumi,” jelas Prof. Kochanek lagi.
"Akan tetapi suhunya mungkin sangat tinggi, sekitar 100 ribu derajat di permukaan. Pada dasarnya, bintang ini sudah menyingkirkan semua komponen hidrogen dan heliumnya, sehingga yang tersisa tinggal material yang telah terbakar menjadi karbon dan oksigen."
Ada petunjuk-petunjuk kalau supernova ini mungkin mulai berakhir, dan tim peneliti akan memiliki waktu dengan teleskop angkasa Hubble di minggu-minggu mendatang untuk mencoba memahami lebih jauh mekanisme yang memicu supernova tersebut.
"Ini adalah sebuah ledakan. Pada akhirnya semua hasil ledakan pasti akan menghilang," ungkap Prof. Kochanek.
"Kalau ia tak lenyap juga, berarti penafsiran kami akan peristiwa ini pasti salah. Di sisi lain, jika penafsiran kami salah maka ini artinya obyek ini lebih unik lagi, dan dalam beberapa hal seseorang akan sangat bahagia dengan kemungkinan tersebut."