Sukses

Groundbreaking 21 Januari, Kereta Cepat Bakal Rampung 2019?

Kereta cepat Jakarta-Bandung adalah yang pertama di Indonesia, bahkan di Asia Tenggara.

Liputan6.com, Jakarta - Proyek mercusuar kerja sama Tiongkok dan Indonesia: kereta cepat Jakarta-Bandung (JBHR), akan segera dimulai pembangunannya.

Peletakan batu pertama (groundbreaking) dijadwalkan dilakukan pada Kamis 21 Januari 2016. Walini, sebuah wilayah di perbatasan Bandung Barat dan Purwakarta, Jawa Barat dipilih jadi lokasinya.

"Kereta cepat pertama di Indonesia, bahkan di seluruh Asia Tenggara akan mulai dibangun pada 21 Januari mendatang," kata Duta Besar Republik Rakyat Tiongkok untuk Indonesia, Xie Feng di kediaman resminya di kawasan Mega Kuningan, Selasa (19/1/2015).

Dubes menambahkan, penasihat negara atau State Councilor, Wang Yong akan memimpin delegasi Tiongkok ke Indonesia, untuk menghadiri upacara peletakan batu pertama bersama Presiden Joko Widodo.



Jalur kereta cepat Jakarta-Bandung memiliki panjang 142,3 kilometer, terdiri atas 4 stasiun yakni Halim, Karawang, Walini, dan Tegalluar -- yang juga menjadi lokasi depo.

Jika terealisasi, waktu tempuh kedua kota yang sebelumnya mencapai 3 jam dipangkas jadi 36 menit.

Dubes Xie Feng menambahkan, proses menuju dimulainya pembangunan proyek JBHR berlangsung relatif cepat. Pihak Indonesia dan China mulai melakukan diskusi serius pada Maret 2014 lalu, kemudian menandatangani perjanjian joint venture pada 16 Oktober, dan pada 21 Januari 2016 pembangunan akan segera dimulai. "Hanya dalam 10 bulan saja," kata dia.

Dubes Xie Feng menambahkan, proyek massal yang jarang terjadi di dunia tersbeut mencerminkan sikap serius Tiongkok dan Indonesia untuk mengimplementasikan kesepakatan penting Presiden Xi Jinping dan Presiden Jokowi terkait sinergi 'Jalur Sutra Maritim Abad ke-21' -- yang sejalan dengan niat Indonesia  menjadi poros maritim dunia.

Kereta Cepat Buatan Cina (Liputan6.com/Andrian M Tunay)


"Kereta cepat merupakan proyek kerja sama Tiongkok dan Indonesia dengan nilai tebesar. Akan menjadi titik tolak hubungan dua negara, sekaligus  memberikan keuntungan riil rakyat dua bangsa."  

Dubes Tiongkok menceritakan, pada 2003, sebelum kereta cepat dibangun di negaranya, produk domestik bruto (GDP) perkapita hanya US$ 1.000. Namun, saat ini nilainya melonjak menjadi US$ 7.500.

"GDP rata-rata Indonesia pada 2014 mencapai US$ 3.531, jauh lebih banyak dari Tiongkok pada 2003," kata Dubes Xie Feng, mengaku yakin proyek tersebut akan meningkatkan perekonomian dan mobilitas warga Indonesia.

Keuntungan, tambah dia, juga akan dipetik oleh oleh wilayah-wilayah yang lain. Misalnya, Walini yang terletak di Perkebunan Nusantara VIII. "Akan dikembangkan jadi kota pariwisata internasional baru dan pusat konferensi global," kata Dubes Xie Feng. "Bandung juga akan membangun LRT yang tersambung dengan stasiun kereta cepat."

Karena merupakan bullet train yang pertama di Indonesia bahkan Asia Tenggara, banyak orang dipastikan akan datang untuk menjajalnya. "Pariwisata Bandung juga akan meningkat dengan kedatangan turis Tiongkok. Bandung adalah kota bersejarah yang dikenal sebagai lokasi penyelenggaraan Konferensi Asia-Afrika tahun 1955."

2 dari 2 halaman

Rampung 2019

Rampung 2019?

Kereta cepat Jakarta-Bandung ditargetkan beroperasi pada  2019 mendatang. Itu artinya, proyek tersebut harus rampung dalam 3 tahun.

Padahal, ada sejumlah kendala. Misalnya, soal pembebasan lahan, izin kerja, dan izin pengelolaan lingkungan.

Belakangan,  Menteri Perhubungan Ignasius Jonan telah menandatangani izin trase kereta api cepat Jakarta-Bandung.

Saat ditanya apakah pembangunan Jakarta-Bandung akan selesai tepat waktu, Dubes Xie Feng mengaku optimis.

Kereta cepat yang dikelola China Railway Corporation. (Liputan6.com/Isna Setyanova)


Ia membandingkan kereta api cepat Jakarya-Bandung dengan Beijing-Shanghai yang panjangnya 1.318 km.

"Tiongkok membangun jalur kereta cepat Beijing-Shanghai selama 5 tahun. Jika dibandingkan dengan jarak Jakarta-Bandung, saya optimistis akan selesai tepat waktu."

Meski demikian, Dubes Tiongkok menyadari, kondisi Indonesia dan China tidak sama. "Banyak tantangan yang kita hadapi di sini, masalah pembebasan lahan, izin kerja, lingkungan. Namun, dengan komitmen kedua belah pihak, itu semua akan bisa teratasi."

Pria berkaca mata tersebut juga mengaku tetap yakin, meski pertumbuhan ekonomi China dilaporkan melemah, 6,9 persen pada 2015, dibandingkan 7,3 persen pada tahun sebelumnya. Tingkat terendah dalam 25 tahun terakhir.

Menurut Dubes Xie Feng, angka 6,9 persen masih relatif tinggi. Apalagi, kata dia, Tiongkok masih punya banyak 'kabar baik'. Misalnya, sektor jasa (services) yang terus berkembang. Juga pertumbuhan pariwisata, dan tingkat pendapatan masyarakat pedesaan yang lebih tinggi dari penduduk perkotaan.