Sukses

Pria Berjanggut Lebih Higenis?

Penelitian mengungkapkan bahwa memelihara janggut lebih higenis dan kebal terhadap bakteri dibanding pria yang bercukur.

Liputan6.com, Jakarta - Menurut penelitian yang dilakukan baru-baru ini memperlihatkan bahwa janggut diduga mengandung bakteri baik yang dapat dikembangkan menjadi antibiotik baru.

Peneliti menemukan mencukur janggut hingga bersih dapat membuat pria terserang infeksi, mengembangkan bakteri yang kebal terhadap antibiotik, jika dibanding dengan mereka yang berjanggut.

Dikutip Independent, Kamis (21/01/2016), penelitian ini diterbitkan dalam Journal of Hospital Infection, dengan melakukan uji coba terhadap  408 sampel dari wajah staf rumah sakit dengan dan tanpa janggut.

Hasilnya memperlihatkan bahwa orang yang mencukur bersih janggut, tiga kali lebih rentan membawa methicillin-resistant staph auerus (MRSA), bakteri staph yang resistan terhadap hampir sebagian besar antibiotik, pada pipi mereka.

Pria yang mencukur bersih janggut, tiga kali lebih rentan membawa methicillin-resistant staph auerus (MRSA). (Wikipedia)

Bersamaan dengan itu, 10 persen pria cenderung memiliki koloni Staphylococcus aureus, bakteri positif yang menghasilkan pigmen kuning, pada wajah. Bakteri ini menyebabkan infeksi kulit, pernapasan dan keracunan makanan.

Para limuwan juga menduga hal ini menyebabkan mikrotrauma disebabkan dari bekas cukuran pada kulit, mendukung perkembangan kolonisasi bakteri dan proliferasi.

Konklusi penelitian ini mencatat: "Secara keseluruhan, kolonisasi serupa terjadi pada pekerja medis dengan atau tanpa janggut, namun spesies bakteri tertentu umum ditemukan pada pekerja tanpa janggut."

Dr Adams Roberts, seorang ahli mikrobiologi dari University College London, mampu mengembangbiakkan lebih dari 100 bakteri berbeda dari sample janggut melalui analisa yang berbeda.

Janggut Jai Courtney (Captain Boomerang) didesain oleh sutradara 'Suicide Squad', David Ayer. Foto: Screenrant

Hasilnya mendapati keberadaan mikroba yang mampu membunuh bakteri lainnya.

Dr Robert memisahkan mikroba tersebut dan mengujinya dengan sejenis E. Coli yang menyebabkan infeksi saluran kemih. Ia menemukan bahwa mikroba tersebut mampu membunuh bakteri itu secara efisien.

Hal ini menyebabkan persediaan antibiotik yang ada sekarang ini menjadi kurang efektif, dengan keberadaan infeksi yang kebal terhadap antibiotik membunuh sedikitnya 700.000 orang setiap tahunnya.

Hingga kini, belum ada antiobiotik baru yang dikeluarkan sejak 30 tahun lalu.

Dr Roberts menganggap penemuan ini serupa dengan kesuksesan Alexander Fleming, penemu penisilin. Penemuan itu secara tidak sengaja terjadi ketika jamur spora meledak ke salah satu sample yang sedang ditelitinya.

Ketika itu Flemming menyadari bahwa bakteri yang sedang ia kembangkan telah mati hanya pada wilayah yang terkena ledakan spora. Penelitian lanjutan dari ketidaksengajaan itu berujung pada penisilin yang kita kenal sekarang ini.