Sukses

Kisah Pramuka Muslim AS Melawan 'Islamfobia'

Anggota kepanduan mempelajari sejarah Perang Saudara dan nilai-nilai yang diwariskan Presiden Lincoln.

Liputan6.com, Virginia - Sabtu pagi hari yang cerah, di dalam sebuah bus, anggota kemanduan -- semacam pramuka -- Ranting 114 bersiap. Mereka akan menuju Gettysburg, Pennsylvania, tempat tugu peringatan Perang Saudara AS yang terkenal.

"Perhatian semuanya!" kata salah senior pembina kelompok pramuka itu.

"Ini bukan sekadar jalan-jalan! Ini adalah perjalanan penuh bonus. Kalau kalian sungguh-sungguh mendengarkan dan memperhatikan sekeliling, kalian akan mendapatkan lencana penghargaan," ujar pembina itu seperti dilansir dari Al Arabiya, Senin 18 Januari 2016.

"Hore! Kita berangkat ke Gettysburg!" Teriak salah satu dari 20 remaja pramuka itu.

"Alhamdulillah!" ujarnya lagi.

Ranting 114 adalah kelompok pramuka AS. Namun, yang menjadi istimewa, semua anggotanya muslim.

Bagi kelompok remaja pria itu, mengombinasikan Islam dan organisasi kepanduan yang telah menjadi darah daging pemuda Amerika Serikat adalah respons paling baik terhadap islamfobia di AS. Juga terhadap kandidat capres AS Donald Trump.

Miliarder yang berada di peringkat pertama di antara para pesaing Partai Republik itu telah mengeluarkan pernyataan rasis yang melarang seluruh muslim--tak terkecuali warganya--masuk AS.

Trump mengatakan hal itu saat merespons serangan teror Paris yang menewaskan 130 orang serta penembakan massal di California.

Seperti kepanduan Negeri Paman Sam yang lain, ranting 114 dibentuk di Fairfax, Virginia tahun 2012. Mereka juga bersumpah pramuka, "Demi kehormatanku, aku akan melakukan yang terbaik."

"Tak hanya itu, pemuda itu juga berharap dapat membantu komunitas muslim di AS dan membantu anak-anak menjadi warga negara AS yang lebih baik," kata Pembina, Abdul Rashid Abdulla yang memimpin 35 pramuka. Kebanyakan anggotanya adalah warga Amerika keturunan Arab.

"Pramuka Muslim di AS jelas tidak lazim," kata seorang pembina lain yang merupakan warga AS berusia 43 tahun. Ia sendiri masuk ke Islam pada 1990.

"Tapi jangan salah, kami semakin banyak. Juga mendapatkan dukungan dari Pramuka Nasional. Kami semua sama, yang membedakan hanya cara kami sembahyang," ujarnya lagi.

Perjalanan ke Gettysburg bertujuan membawa pramuka mengenang sejarah Perang Saudara Amerika.

Tujuannya tidak hanya untuk menggarisbawahi pentingnya sejarah Amerika, tapi untuk meyakinkan bahwa sejarah Amerika Serikat adalah juga sejarah mereka.

"Sangat penting untuk mengirimkan nilai-nilai Amerika, nilai-nilai yang diperjuangkan Lincoln, kepada mereka," ujar Rashid.

"Mereka harus belajar sejarah negeri ini. Ini tugas kita semua untuk membuat remaja seperti mereka mengerti dengan sejarah Amerika Serikat," timpal Jamal Amro, pemilik bus dan seorang warga Palestina yang beremigrasi ke AS pada tahun 1977.

2 dari 2 halaman

Pramuka Muslim juga Orang Amerika Serikat

Pasukan ranting 114 adalah salah satu kelompok  yang mendapatkan kesempatan untuk menghadiri pelantikan kedua Barack Obama pada 2013. Pramuka itu berharap untuk hadir lagi pada 2017 ketika presiden AS yang baru dilantik, bahkan jika itu adalah Trump.

Kendati demikian, Rashid tidak bisa menyembunyikan kemarahannya terhadap miliarder provokatif real estate itu karena memimpin dalam jajak pendapat di kalangan pemilih Partai Republik.

"Mereka anak-anak yang lahir di sini, mereka adalah orang Amerika Serikat. Mereka tidak bisa mengambilnya dari kami. Orang yang anti-Amerika adalah orang yang mengatakan hal-hal seperti itu," katanya, mengacu larangan muslim masuk AS oleh Trump.

Izzuddin, anak laki-lakinya yang berusia 17 tahun akan memilih untuk pertama kalinya tahun ini setelah ia berusia 18 tahun nanti.

"Trump jelas membuat banyak orang takut. Tapi sekaligus memotivasi orang. Anda harus melakukan sesuatu terhadap hal itu (pelarangan muslim masuk AS)," katanya, menantang.

Setelah mengunjungi museum dan medan perang Gettysburg, remaja kembali ke bus untuk makan siang - makanan cepat saji.

Kisah Pramuka Muslim AS Melawan Islamfobia  (Reuters)

Sepanjang jalan, Rashid mendistribusikan kartu pos.

"Tulis kartu pos untuk para veteran, mereka akan menyukainya," ujarnya seraya mengatakan akan membayar ongkos prangkonya.

Setelah makan, kelompok berhenti di sebuah masjid di pinggir jalan raya untuk salat.

Setelah itu mereka menuju ke Amish Country, komunitas Kristen tradisional di Pennsylvania yang dikenal hidup sederhana dan keengganan untuk mengadopsi kenyamanan modern.

Ini kesempatan untuk Amro meraih mikrofon sekali lagi dan untuk menjelaskan kepada remaja-remaja itu bagaimana Amish pergi dari Eropa menghindari penganiayaan untuk menetap di Amerika Serikat, untuk menemukan kebebasan beragama.

Chalinine, seorang wanita Aljazair yang telah tinggal di AS sejak 1994, menawarkan diri untuk menemani grup itu.

Dia mendaftarkan dua anaknya, seorang putra dan seorang putri, menjadi pasukan pramuka karena mereka melakukan banyak kegiatan relawan.

"Ini nilai yang sama seperti Islam," katanya.

Tapi dia tidak bisa menyembunyikan keprihatinannya pada kekerasan terhadap muslim di AS. Akibatnya, ia membatalkan langganan televisi kabel di rumah sehingga anak-anaknya mendengar sedikit mungkin pernyataan Trump.

"Saya berharap anak-anak saya akan merasa lebih menjadi bagian Amerika daripada yang saya rasakan," bisiknya.

Video Terkini