Liputan6.com, Canberra - Sejak awal menjejak pendidikan, kita didorong untuk menuntut ilmu setinggi mungkin. Ijazah menjadi keharusan. Wajib!
Sejumlah orang merasa tak cukup hanya punya ijazah S1. Kalau perlu S2, bahkan S3.
Baca Juga
Namun, ternyata sejumlah perusahaan besar kelas dunia tidak lagi memperhitungkan tanda kelulusan itu dalam merekrut karyawannya.
Advertisement
Dikutip News.com.au, perusahaan penerbitan internasional Penguin Random House tidak menjadikan ijazah sebagai persyaratan pelamar kerja. Ini mengikuti langkah yang diambil firma konsultasi ternama Ernst and Young dan Pricewaterhouse Coopers.
Sebelumnya, sejumlah perusahaan yang lebih kecil lebih dulu enggan mempekerjakan kalangan sarjana atau lulusan universitas. Alasannya?
Mereka percaya bahwa pemuda pemudi generasi Y lulus dari universitas 'tanpa keahlian sesungguhnya' atau diajarkan hal-hal yang salah selama di bangku kuliah.
Penerbitan Penguin Random House tak terang-terangan menyebut alasan mereka. Mereka hanya mengakui bahwa perubahan dalam daftar persyaratan itu hanya sekadar tindakan agar perusahaan menjadi 'lebih inklusif dibandingkan dengan masa-masa sebelumnya'.
"Sarjana tetap diperbolehkan melamar, tapi ketidakmampuan seseorang untuk menempuh pendidikan tinggi tidak lagi menjadi penghalang untuk bergabung," tulis pernyataan dari Penguin Random House.
Yang tak memiliki gelar sarjana tidak perlu frustrasi. "Sederhana, jika punya kemampuan dan potensi, Andalah yang kami cari."
Bobot nilai dari gelar sarjana di Australia berkurang sejak dasawarsa lalu. Jumlah lulusan universitas yang bekerja menjadi yang terendah sejak resesi tahun 1992-1993.
Baca Juga
Survei yang dilalukan Graduate Careers Australia pada 2005 menunjukkan bahwa lebih dari seperempat mahasiswa S1 gagal mencari kerja dalam empat bulan setelah menyelesaikan pendidikan mereka. Gaji mereka pun tak sesuai harapan, seiring jumlah upah yang terus menurun.
Sementara, keterampilan seperti sifat yang ramah, mudah beradaptasi, keahlian digital yang baik, dan kemampuan manajemen waktu, dianggap lebih bernilai.
Maggie Stilwell, pemimpin Ernst and Young, yang tidak lagi mempertimbangkan detail akademis dan pendidikan seorang pelamar. Ia menyatakan bahwa strategi perekrutan yang baru akan 'membuka kesempatan bagi individu berbakat, apa pun latar belakangnya, dan memberi akses yang lebih baik untuk bergabung dalam suatu profesi'.
Kate Carnell, CEO Chamber of Commerce and Industry Australia mengatakan sebagian sarjana masuk dunia kerja berbekal ijazah, tapi 'tak terkoneksi dengan lapangan kerja'.
"Sejumlah anggota kami secara konsisten memberitahukan bahwa mereka mencari lulusan universitas atau program pelatihan. Namun, meski punya keterampilan akademik atau teoritis, mereka tak memiliki keterampilan kerja. Itu membuat mereka sulit dipekerjakan," ungkap Carnell.
Carnell melanjutkan, masalah yang umum dihadapi adalah sulitnya membuat para karyawan mengerti bahwa mereka perlu hadir tepat waktu setiap hari, bukan hanya ketika mereka ingin datang pagi.
Lainnya, adalah persoalan dasar seperti kemampuan menerima, mencerna, dan melaksanakan perintah. "Atau bagaimana untuk mempresentasikan hasil kerja dengan maksimal, atau bahwa seorang karyawan perlu bersikap baik."
Meski budaya mengabaikan ijazah sarjana dianggap sesuatu yang positif oleh perusahaan, bagaimana dengan pihak universitas?
Wakil rektor Deakin University, Beverley Oliver mengaku tak terganggu dengan fakta itu.
Ia berpendapat, ijazah tetap penting, sebagai sebuah pengakuan atas kemampuan seseorang.
Namun, kebijakan sejumlah perusahaan adalah 'pesan yang kuat' untuk pihak universitas. "Menurut saya, sektor pendidikan telah melakukan perubahan besar dalam 15 tahun terakhir, khususnya untuk memastikan bahwa gelar punya arti penting dari sekadar nilai dan selembar ijazah."