Sukses

Rambut Sejatinya 'Indra Ke-6' yang Jauhkan Manusia dari Bahaya?

Kekuatan Samson konon luntur saat rambut dicukur. Juga pemuda suku Indian yang rambutnya dibuat cepak.

Liputan6.com, Jakarta - Rambut tak sekadar mahkota di kepala. Tergantung era, budaya, dan tempat, rambut diperlakukan berbeda-beda: diikat, dikepang, disanggul, ditutup rapat, dipanjangkan, dipangkas pendek, dicukur, sengaja dibuat kisut, digimbal, diwarnai, dikeriting, dihias, dan masih banyak lagi.

Rambut juga bisa menjadi indikator usia atau budaya. Atau dianggap melekat pada simbol tertentu.

Ada yang menganggap, rambut yang dicukur pihak lawan adalah hukuman atau penghinaan -- dalam masyarakat modern sekali pun. Sementara, kepala plontos atau gundul kerap dikaitkan dengan perubahan drastis pada diri seseorang baik secara spiritual, psikologis, medis, maupun jalan hidup.

Sejumlah kebudayaan di dunia menganggap, makin panjang rambut makin baik. Bahkan ada yang meyakini, rambut memiliki kekuatan sensorik -- yang dianggap kepanjangan dari sistem syaraf. Juga memengaruhi kekuatan seseorang.

Ilustrasi Samson and Delilah (Wikipedia Commons)


Misalnya dalam kisah Samson. Alkisah, tokoh mirip Hercules itu punya daya luar biasa yang membuat musuh-musuhnya bertekuk lutut.



Dengan kekuatannya itu, sang tokoh bernyali bergulat melawan singa, menghancurkan pasukan musuh dengan tulang rahang keledai, atau merobohkan bangunan raksasa. Namun, Samson ternyata punya kelemahan: di rambut.

Ia yang tak pernah bercukur menjadi se-fana manusia lain saat rambutnya dipotong oleh sang kekasih, Delilah. Kesaktiannya pun luntur.

Seperti dikutip dari situs Ancient Origins, penduduk asli Amerika konon juga menganggap rambut punya kekuatan.

Salah satu laporan menuliskan klaim para pekerja Veterans Affairs Medical Center di Amerika Serikat.

Disebutkan bahwa selama Perang Vietnam, suku Choctaw dan Navajo -- yang dikenal sebagai 'Code Talker' selama Perang Dunia II, direkrut dan diberi tugas bergerak diam-diam alias bergerilya di medan terjal berbahaya dan zona konflik.

Mereka sengaja ditarik jadi tentara karena disebut memiliki kemampuan melacak yang luar biasa, nyaris supranatural. Namun, di lapangan, hasil kerjanya tak memuaskan. Mengapa?

Konon, anggota suku Navajo yang rambutnya dicukur kehilangan kesaktiannya (Reuters / Gary Cameron)


Saat ditanya, ini jawaban warga suku asli itu, "akibat menuruti perintah untuk memotong rambut cepak ala militer, mereka tak lagi bisa 'merasakan' keberadaan musuh, tak lagi bisa menggunakan 'indra keenam', intuisi yang tidak bisa diandalkan, dan tak bisa membaca tanda-tanda tak kasat mata," demikian ditulis dalam situs WakingTimes.com.

Laporan itu juga mengklaim, insitut pengujian pemerintah melakukan riset untuk membandingkan kemampuan melacak Suku Indian, yang berambut panjang dan mereka yang sudah dicukur pendek.

Hasil penelitian itu menghasilkan teori bahwa rambut panjang mungkin berperilaku seperti kepanjangan dari sistem syaraf.

Namun, tak seperti kumis kucing -- yang berguna membantu berburu dan navigasi -- rambut manusia lebih mirip 'indra keenam'.

2 dari 2 halaman

Fakta Versus Mitos

Tak semuanya sepakat dengan klaim tersebut. Mereka yang skeptis menentangnya, mengatakan bahwa tak ada bukti sahih soal itu.

Bagi para penentang, rambut manusia tak lebih dari sel mati atau keratin -- yang juga ditemukan pada kulit manusia, gigi, kuku dan kuku kaki.

Meski demikian, helaian rambut yang keluar dari kulit kita melalui folikel terbukti terhubung pada reseptor taktil (tactile receptors) pada kulit yang bisa membedakan panas atau dingin, memberi sinyal misalnya soal keberadaan serangga yang akan mengigit. Atau dengan kata lain, memberi peringatan bahaya.

Kala rambut atau bulu kuduk di belakang leher kita berdiri saat kita dalam bahaya atau merasakan sesuatu yang mengancam, apakah hal tersebut adalah tindakan refleks yang kita deteksi dengan 'indra keenam' atau bahwa persepsi sadar manusia memengaruhi rambut? Atau, jangan-jangan rambut kita sedang mengirimkan peringatan?

Jawabannya masih jadi perdebatan.

Penelitian tentang sensor rambut Johns Hopkins Medicine (David Ginty lab)



Namun, seperti dikutip dari situs Science Daily, para ahli syaraf dari Johns Hopkins University School of Medicine pada 2012 memberi pemahaman baru soal bagaimana otak mengumpulkan dan memproses informasi dari kulit yang berambut. Untuk membedakan apakah itu terpaan hujan, angin sepoi-sepoi, atau sodokan tongkat, misalnya.

Dalam penelitian disebutkan, setiap jenis rambut memiliki perangkat dan ujung saraf yang spesifik. Membuat setiap rambut menjadi organ mechanosensory yang unik.