Liputan6.com, Lima - Awalnya, warga di sepanjang Rio Tambo, Peru mengira, Huaynaputina adalah gundukan bukit berbatu. Hingga akhirnya pada tahun 1600, tanah yang mereka makin sering berguncang, awan mengerikan terbentuk di atas kawahnya.
Penduduk akhirnya sadar, Huaynaputina sejatinya adalah gunung berapi yang menyimpan kekuatan mengerikan. Sebelumnya, ia pernah meletus dahsyat, namun tak ada orang yang mengingat kapan.
Di tengah kegelisahan, para pemimpin spiritual di Desa Quinistacas menyimpulkan, untuk meredakan amuk Huaynaputina, persembahan harus diaturkan ke gunung itu.
Menurut mereka, tumbal itu harus berupa gadis-gadis tercantik, binatang-binatang terbaik, dan bung-bunga terindah.
Â
Baca Juga
Namun, kekuatan alam itu tak bisa dihentikan dengan rayuan berupa persembahan. Lindu kian menjadi. Pada 19 Februari 1600 pagi, 4 gempa terjadi setiap 15 menit. Guncangan kian terasa mendekati petang.
Kemudian, malapetaka pun terjadi. Huaynaputina meletus dahsyat, abunya muncrat ke angkasa, menghalangi masuknya sinar mentari, memicu kegelapan di wilayah sekitarnya.
Tak hanya itu, abu dan awan panas tumpah menimpa apapun yang ada dalam jangkauannya. Kilat sambar menyambar mengerikan di atas gunung.
Seperti dikutip dari buku 'A History of Civilization in 50 Disasters' karya Gale Eaton, suara letusan Huaynaputina sungguh keras, terdengar hingga ibukota Peru, Lima yang jauhnya mencapai 800 km.
Material piroklastik mengalir ke Rio Tambo. "Sungai tertutupi aliran panas, semua ikan mati," kata salah satu saksi.
Hewan-hewan yang lolos dari gempa dan panasnya material muntahan gunung akhirnya mati kelaparan. Tak ada apapun yang bisa dimakan.
Setidaknya 10 desa di sekitar Huaynaputina binasa akibat gempa dan guguran abu panas. Sebanyak 1.600 nyawa manusia melayang karenanya.
Letusan Huaynaputina mendapat skala 6 dalam Volcanic Explosivity Index. Menjadi letusan gunung terbesar dalam sejarah Amerika Selatan.
Dampak amukan Huaynaputina membuat perekonomian Peru. Tanaman dan ternak hancur, ladang subur berubah jadi gurun. Pertanian tak pulih hingga 150 tahun.
Kekeringan dan Kelaparan
Advertisement
Seperti halnya erupsi gunung berapi lainnya, Huaynaputina memuntahkan sejumlah besar sulfur ke atmosfer, membentuk tetesan-tetesan asam sulfat yang membalikkan cahaya mentari yang memasuki Bumi.
Kurangnya sinar Matahari mendinginkan permukaan sebagian planet manusia selama beberapa tahun -- sampai tetesan-tetesan itu berjatuhan dari atmosfer.
Studi lingkaran pohon menunjukkan, 1601 adalah tahun yang dingin. Namun, awalnya, tak diketahui apa sebabnya.
"Kita tahu ada erupsi besar, bahwa ada tahun yang berlangsung dingin, itu saja," kata Ken Verosub dari University of California, Davis seperti dikutip dari LiveScience, Kamis (18/2/2016).
Sebab, kejadiannya tak seperti erupsi Tambora pada 1815 yang terdokumentasi dengan baik. Sementara, letusan Huaynaputina terjadi lebih lampau.
Para ahli geologi menemukan sejumlah petunjuk dari berbagai lokasi di dunia. Salah satunya, di Rusia, pada 1601-1603 terjadi kelaparan terparah yang memicu pergolakan politik, yang berujung pada penggulingan tsar.
Catatan dari Swiss, Latvia, dan Estonia menyebut terjadinya musim dingn parah pada 1600-1602. Sementara, pada 1601 panen anggur di Prancis terlambat. Produksi wine di Jerman berhenti.
Sementara di China, pohon persik terlambat mekar. Sementara Danau Suwa di Jepang membeku.
"Di satu sisi, kita tidak dapat membuktikan bahwa erupsi Huaynaputina bertanggung jawab atas semua ini," kata Verosub.
"Tapi kami berharap dapat menunjukkan bahwa 1601 adalah tahun yang secara konsisten buruk, yang bisa dikaitkan dengan erupsi gunung tersebut.
Selain letusan Huaynaputina, tanggal 19 Februari juga diwarnai sejumlah momentum. Pada tahun 197, dalam Pertempuran Lugdunum, Septimius Severus mengalahkan rivalnya Clodius Albinus dan mendapatkan kendali penuh atas Kekaisaran Romawi.
Sementara itu pada tahun 1985, William J. Schroeder menjadi pasien pertama dengan jantung buatan yang meninggalkan rumah sakit.