Liputan6.com, New York - Ada apa dengan reality show? Dan mengapa sejak tahun 2004 ada sekitar 21 orang yang pernah ikut dalam acara seperti itu melakukan aksi nekat bunuh diri?
Dikutip dari News.com.au, Senin (29/2/2016), acara Kitchen Nightmares pada tahun 2007 dengan adegan koki Gordon Ramsay menghina salah seorang peserta bernama Joseph Cerniglia. Tiga tahun kemudian, Cerniglia bunuh diri.
Baca Juga
Baca Juga
Sejak 2004, kecenderungan ini juga terjadi kepada mereka yang ikut serta dalam reality show tak setenar The Bachelor, seperti serial Storage Wars.
Advertisement
Namun, acara The Bachelor juga sudah kehilangan 3 orang yang merenggut nyawanya sendiri.
Hal ini memunculkan pertanyaan terhadap orang-orang yang terpikat kepada acara realita, beserta proses penyaringan dan dukungan yang diberikan kepada mereka setelah acara usai.
Dr. Richard Levak, seorang pakar kepribadian di California pernah mendampingi sejumlah jalannya sejumlah reality show. Ia mengatakan perdebatan terkait peningkatan bunuh diri sama halnya seperti pertanyaan, 'siapa yang keluar lebih dulu, ayam atau telur?.'
“Apakah tampil dalam reality show menarik minat orang tidak stabil? Apakah orang yang tidak stabil lebih tertarik? Atau apakah kebringasan reality show membuat orang terpikir untuk bunuh diri?” tanyanya.
Dua minggu lalu, Alexa “Lex” McAllister (31) dari The Bachelor Season 14 menjadi korban terakhir. Gia Allemand, dari tayangan yang sama, meninggal pada 2013. Sementara itu, tiga tahun sebelumnya, Julien Hug (35), peserta Bachelorette 2009, juga mengambil nyawanya sendiri.
Bahkan pemain kecil seperti Russell Armstrong, suami dari Taylor Armstrong— bintang Real Housewives of Beverly Hills— bunuh diri pada tahun 2011 setelah permasalahan keuangan dan pernikahannya disiarkan melalui Bravo.
Sebelum meninggal, ia sempat berkeluh kesah kepada RumorFix terkait tekanan untuk tampil dalam acara TV.
Beban ketenaran
Jesse Csincsak, pemenang The Bachelorette musim ke-4, mengatakan kepada New York Post bahwa tekananan dan perjuangan setelah tampil di televisi dapat mendorong seseorang ke batas ketahanannya.
“Menurut saya, mereka tidak tidak tahu apa yang akan mereka hadapi ketika mendaftarkan diri,” katanya.
Menurutnya, salah satu masalah terbesar adalah ketika harus menjadi pusat perhatian tanpa persiapan, menghadapi kegaduhan, kebencian, dan pengeksposan yang kemudian bisa merenggut kehidupan seseorang.
“Setelah 8 episode, ada 50 juta orang yang menonton mereka. Kemanapun mereka pergi — entah sedang itu hanya berjalan-jalan atau melalui Facebook—orang-orang akan menilai mereka,” lanjutnya.
Eliza Orlins, bintang dalam Survivor selama dua musim, mengenang ketika ia enggan untuk bersosialisasi dengan dunia maya setelah tampil pertama kalinya pada tahun 2004., karena mendapatkan hujatan dan cercaan yang meluas.
“Peserta tidak dipilih selayaknya. Sebagian besar tidak tahu cara menangani kehidupannya setelah acara itu,” ungkap wanita yang kini telah menjadi pengacara di Manhattan.
Lisa Ganz, seorang pemilik perusahaan casting di Manhattan, menjelaskan bahwa proses pemilihan peserta reality show dimulai dengan direktur pemilihan. Mereka ditugaskan untuk memastikan calon peserta stabil secara emosional.
Setelah mendapatkan persetujuan, latar belakang mereka kemudian diperiksa secara mendetail. Seperti pemeriksaan terhadap penyakit menular seksual jika ikut serta dalam acara seperti The Bachelor.
Setelah semua itu para peserta juga akan diuji psikologisnya secara tertulis dan tatap wajah.
Dalam ujian yang dikeluarkan oleh Csincsak, ada lebih dari 1.200 pertanyaan psikologi. Pertanyaan itu seperti 'Apakah kamu merasa sedih?' atau 'Pernahkah kamu terpikir untuk membunuh ibumu?'
Namun, menurutnya pertanyaan itu bukan untuk memeriksa kestabilan emsoi, tapi untuk membuat acara lebih seru.
“Kalau kamu bilang takut ular, mereka akan membawa kamu ke kebun binatang. Kalau kamu takut ketinggian, mereka akan memaksa kamu melompat dari tebing.”
“Sekarang mereka telah melangkah lebih jauh lagi dengan meminta nomor telepon sahabat terdekat atau mantan pacar. Mereka ingin mengetahui hal-hal buruk tentang seseorang agar bisa membentuk cerita tentang salah satu peserta.”
Rating dan uang
Di lain pihak, Levak mengaku ada daya tarik untuk menyerempet kepada kekerasan melalui layar kaca.
“Secara umum, produser menginginkan orang yang menurut saya tidak cocok. Tentunya mereka adalah paling menarik. “
Tapi, Levak melanjutkan, tidak ada yang sempurna terutama ketika orang rela mengorbankan kesehatan demi ketenaran.
Seperti Kathy Sleckman yang melamar untuk Survivor Season 9 pada 2004 lalu. Ia menjalani wawancara dan pemeriksaan latar belakang selama 10 hari berturut-turut di Los Angeles, bahkan sambil dikarantina.
“Saya tidak boleh bertemu calon peserta lainnya. Makan pun saya sendiri,” kata Sleckman.
Saat itu ia tidak terpilih namun dipanggil lagi 3 tahun kemudian untuk musim ke-16. Kali ini, ia harus berada di Los Angeles selama 2 hari. Ternyata, wanita itu telah menjadi ibu yang mengalami depresi usai melahirkan (post partum), membuatnya mengonsumsi obat penenang bernama Zoloft.
Belakangan diketahui, Sleckman, melakukan pemeriksaan dokter secara mandiri agar penyakit kejiwaannya tak terlacak.
“Saya menyembunyikannya. Ia terpilih dan meninggalkan obat Zoloft ketika pergi ke Palau untuk menjadi peserta Survivor: Micronesia," ungkapnya.
“Saya kira mereka akan menggeledah koper saya,” katanya. Ia pun dihantui pemikiran terkait keluarganya yang tidak jelas, seperti suami yang menyeleweng, atau putrinya yang akan membencinya.
Karena tak ingin menyerah, pada hari ke 19 wanita itu memotong ujung kelingkingnya untuk mendapatkan istirahat dari acara tersebut.
Ia malah diminta menghadap salah satu produser dan dikirim menjauh dari lokasi, lalu diberi sejumlah Zoloft untuk darurat dan menemui ahli terapi pendamping, Dr. Liza Siegel.
Ia dipulangkan empat hari kemudian. Para penonton hanya tahu bahwa ia keluar dari tayangan.
“Tidak ada teman atau saudara. Saya kelaparan dan terpapar di luar sana. Seperti keadaan terburuk yang bisa dialami ketika kehabisan obat.”
Bunuh diri membuat kacau
Sementara itu, seorang produser yang tidak mau disebut namanya demi alasan profesionalisme, mengatakan ancaman bunuh diri dapat mengacaukan seluruh musim tayang.
“Kami memiliki tanggungjawab untuk menghubungkan mereka dengan seorang ahli terapi dan tidak melakukan rekaman hingga mereka stabil secara emosional.
” Ia juga menambahkan bahwa penataan cerita yang memerlukan banyak pengakuan diri seseorang dapat memicu masalah yang mendalam.
Beberapa pihak yang kehilangan orang-orang yang dikasihinya, Patricia Hansen yang adalah ibu dari Joseph Cerniglia, tidak menyalahkan acara tersebut.
Kata sang ibu, “Begini, bisnis restoran itu keras untuk dijalani. Kami senang-senang saja dengan Kicthen Nightmares. Menyenangkan. Gordon itu hebat.”
Di lain pihak, Csincsak berpendapat bahwa hampir semua orang mengalami sejenis kegalauan setelah keterlibatan dalam acara. Katanya, “Tidak peduli apa yang digambarkan tentang kamu…bisa dibilang kamu memang dirancang untuk gagal di tengah jalan.”
Lanjutnya, “Setelah mondar-mandir seperti raja menggunakan helikopter pribadi ke pulau-pulau pribadi, kamu lepas dari tayangan dan kembali ke pekerjaan di (pasar swalayan) Target atau pramusaji bar, mendadak kamu merasa tertekan. Ya, itu tidak bisa dihindari.”
Menurut Csincsak, jejaring stasiun televisi perlu melakukan evaluasi pada para peserta yang didepak dan bukan sekedar menghibur lalu memulangkan mereka sambil tersedu-sedu.
“Mungkin mereka harus menempatkan peserta di dalam hotel selam 48 jam untuk melepaskan beban dengan seorang ahli terapi guna mengijinkan otak mereka memproses semuanya.”
Dr. Levak mengungkapkan kekhawatiran kalau genre jenis ini terus menarik lebih banyak peserta untuk lebih banyak tayangan sehingga “proses pemilihannya dapat terabaikan.”
Kata Csincsak, “Saya yakinkan kamu bahwa ada orang-orang yang sudah hampir bosan hidup di acara itu dan mereka menyaksikan Lex dan Gia, lalu berpikir, ‘Oh, kesakitan mereka sudah berakhir. Saya juga bisa.’”