Liputan6.com, Rikuzentakata - Awal bulan depan nanti, Takashi Tsuchiya akan mengenakan baju terbaiknya saat masuk perguruan tinggi. Pemuda itu bertekad mewujudkan janjinya untuk sukses di bidang akademik. Meski, itu sama sekali tak mudah.
Ia merasa sedih, sebab, orangtuanya tidak bisa hadir melihat anak laki-lakinya memulai kuliah teknik di sebuah universitas terbaik di Jepang. Ayah dan ibunya telah berpulang dalam salah satu bencana terbesar yang pernah melanda Negeri Sakura: gempa dan tsunami 2011.
Lima tahun lalu, Takasih masih berusia 13 tahun. Ia dan kakak perempuannya, Naho (15) berangkat ke sekolah meninggalkan rumah mereka yang berada tak jauh dari jejeran hutan pinus di pinggir pantai, di kota Rikuzentakata. Itu terakhir kalinya ia melihat sang ayah, Yoshihiko dan ibunya Miki dalam kondisi hidup.
Advertisement
Orangtua mereka termasuk 19.000 korban gelombang raksasa tsunami yang menghantam pinggir pantai pada 11 Maret 2011. Dinding air itu meluluhlantakkan puluhan kota dan desa. Angka kerusakan mencapai 16,9 triliun yen atau sekitar US$150 miliar.
Rikuzentakata sendiri kehilangan 1.750 dari 24.000 penduduknya, seluruh kota porak poranda setelah ditelan gelombang setinggi 15 meter.
 Baca Juga
Â
Jasad sang ayah, Yoshihiko ditemukan seminggu kemudian di gedung olahraga yang seharusnya menjadi tempat aman bagi para pencari selamat. Tiga hari kemudian, jenazah ibunya ditemukan tak jauh dari rumah mereka yang telah rata dengan tanah.
Naho dan Takashi masih beruntung. Mereka berlindung di sekolah mereka bersama ratusan penyintas yang ketakutan dan kedinginan. Di sana, mereka bertemu dengan teman dekat keluarga mereka, Kiwako Shimizu yang langsung menampung dan memberikan rumah sementara kepada kedua yatim piatu itu.
Naho menolak membicarakan orangtuanya untuk beberapa tahun, termasuk dengan saudara laki-lakinya.
"Untuk waktu yang lama, tak satupun dari kami berbicara tentang tsunami," ujar Takashi kepada Guardian, Jumat (11/3/2016). Takashi pun memilih tinggal bersama paman dan bibinya, setelah beberapa lama ditampung Shimzu. Lalu, ia memutuskan untuk tinggal di asrama sekolah.
"Aku juga jarang bertemu dengannya," lanjutnya lagi.
Kehilangan yang Mendalam
Ruang tengah rumah keluarga Shimizu dipenuhi oleh foto-foto keluarga malang itu sebelum tragedi melanda. Termasuk foto Naho yang kini berusia 20 tahun memakai kimono cerah menyambut perayaan usia dewasa awal tahun ini.
Juga foto ayah mereka di usia muda, 15 tahun lalu ketika Shimizu dan anggota kelas menari Nihon Buyo tampil.
"Ayah mereka, Yoshihiko adalah muridku selama 20 tahun, dan ia luar biasa jago menari," kata Shimizu yang berusia 78 tahun.
Takashi kini 18 tahun, masih saja tak bisa mengungkapkan kehilangannya akibat kematian orangtuanya. Kerap kali ia harus melihat Shimizu, meminta bantuannya ketika berbicara tentang ayah ibunya. Ia juga sering menerawang ketika topik pembicaraan adalah dua orang yang ia cintainya itu.Â
"Kupikir, ayah dan ibu sangat bangga karena aku berhasil masuk universitas," tutur Takashi terbata.
Sang ayah, selain penari tradisional, adalah seorang mekanik mobil. Ia menularkan kecintaan terhadap dunia mesin kepada anaknya yang ternyata jago matematika dan sains di sekolah.
"Ayahku orang yang membetulkan mesin agar kami bisa hidup dan makan. Namun, aku ingin membangun yang baru, menggunakan energi baru. Ayahku berkata, ia ingin aku menjadi...," ucap Takashi yang terhenti sebelum akhirnya ia menangis.
Sementara itu, Naho, setelah tinggal bersama keluarganya, menjadi sosok yang pendiam dan menarik diri. Ia akhirnya memilih tinggal bersama Shimizu dan tak bisa menyelesaikan sekolahnya.
Kendati sempat vakum 3 tahun sekolah, akhirnya ia bisa belajar seni di sebuah kampus di Sendai.
Trauma pada anak-anak membuat keprihatinan otoritas kota. Rikuzentakata dan komunitas lain yang juga terdampak kini telah melakukan rekonstruksi massif senilai US$ 232 miliar dalam beberapa tahun ke depan.
Setelah bermain bersama anjingnya, Chako--yang selamat setelah sang ayah membawanya ke rumah Shimizu setelah gempa--Takashi mengingat kembali nasehat sang ayah. Tak terbayangkan baginya kalau ia harus menyongsong dunia dewasa sendiri tanpa pendamping.
"Aku ingat, ayahku sangat tegas, namun ia tak pernah marah. Ia sungguh tenang dan penuh komitmen. Tiap kali aku menyerah, ia selalu bilang, 'terus saja jalan... jangan berhenti," tutup Takashi.
Advertisement