Liputan6.com, Belitung - Ukurannya cuma sekepalan tangan, tapi tarsius di kawasan Batumentas, di hutan lindung Gunung Tajam, Belitung, adalah tarsius terbesar dalam jenisnya.
Monyet purba ini sebelumnya hanya ditemukan di dua titik: di Filipina dan Sulawesi.
Budi Setiawan adalah lelaki asli Belitung yang juga menekuni konservasi tarsius ini.
"Di Belitung, primata ini dikenal sebagai Pelilean," kata Budi Setiawan seperti dikutip dari BBC Indonesia, Kamis (17/3/2016).
Advertisement
"Berbeda dengan bangsa monyet lain, tarsius tidak bisa bergelayutan -- harus selalu menggunakan keempat tangan dan kaki untuk berpegangan pada ranting pohon. Dan juga, makanannya bukanlah buah-buahan melainkan burung kecil atau serangga," tambah Budi Setiawan sembari menjelaskan seluk beluk tarsius kepada pengunjung yang melihat-lihat mamalia ini dengan takjub.
Baca Juga
Di kaki Gunung Tajam, di Taman Wisata Alam Batu Mentas, Belitung, memang terdapat dua kandang tarsius, masing-masing jantan dan betina.
Budi dan kawan-kawan melakukan eksperimentasi untuk mengawinkan tarsius di luar habitat asli. Ini untuk mengakali populasi di alam yang diperkirakan jumlahnya tak terlalu banyak.
"Jumlah pastinya, belum jelas. Perlu penelitian khusus, yang akan agak mahal juga," kata Budi.
Namun ia bersama beberapa peneliti pernah melakukan perkiraan, dengan menghitung wilayah Gunung Tajam di hutan primer dan hutan sekunder. Berapa tarsius yang ditemukan per seratus meter persegi, lalu dibandingkan dengan hasil pemotretan satelit, yang menunjukan vegetasi hunian Tarsius.
"Saat itu, diperkirakan, ada sekitar 1.000 ekor tarsius yang hidup di sini," kata Budi.
Asal-usul 'Hantu'
Dulu, katanya, secara tradisional tarsius dikenal sebagai monyet hantu.
"Sebagai binatang nokturnal, di malam hari, matanya yang besar itu berkilauan. Jadi ketika berada di ranting-ranting pohon, tersorot lampu senter pemburu, matanya bergerak-gerak, dan secepat kilat dia melompat hingga 4 meter, tanpa awalan. Pemburu pun menjulukinya monyet hantu,"papar Budi.
Lebih dari itu, malah tarsius dianggap binatang pembawa sial oleh para pemburu. Sehingga tarsius sering jadi sasaran pembunuhan sia-sia.
Jadi para pemburu itu, merasa kehadiran tarsius yang seperti itu cukup menakutkan, mengganggu mereka dalam berburu, kata Budi.
"Sehingga ketika menemukan tarsius, mereka menembaknya, istilahnya 'buang pelor.'
Jadi, mereka membunuh tarsius bukan karena mau membawanya, tapi sekadar membunuh saja. Agar bebas dari yang mereka anggap monyet hantu. "Buang pelor, untuk buang sial," tambah Budi lagi.
Keadaan sudah lebih baik sekarang, kata Budi. Berkat upaya berbagai pihak menjadikan tarsius sebagai maskot Belitung.
Kendati demikian bukan berarti tarsius sudah sepenuhnya aman. Terutama karena hutan yang merupakan habitatnya, hutan lindung Gunung Tajam, belum tentu akan dibiarkan sebagaimana adanya.