Liputan6.com, Jakarta - Tidak semua perkawinan berakhir dengan bahagia. Setiap tahun, sebanyak 15 juta anak perempuan dipaksa menikah oleh orangtuanya. Padahal, mereka masih 'bau kencur', belum genap berusia 18 tahun.
Beberapa di antaranya bahkan terbilang sangat belia, berusia 8 hingga 9 tahun.
Baca Juga
Apakah perkawinan menjadi akhir masa kanak-kanak mereka yang seharusnya indah? Jawabannya, ya!
Advertisement
Pernikahan pada usia dini tidak hanya melanggar hak asasi manusia (HAM) tapi juga mengundangbany masalah lain.
Seorang pengantin anak akan berisiko lebih tinggi terhadap infeksi HIV, kemiskinan, kekerasan dalam rumah tangga, putus sekolah, dan kematian saat proses melahirkan.
Baca Juga
Jika sebuah perubahan tidak segera dilakukan, maka seperti dilansir dari Weforum.org, Sabtu (19/3/2016), jumlah perempuan yang menikah pada usia dini akan melambung dari 720 juta menjadi 1,2 miliar pada 2050.
Penderitaan yang dialami jutaan anak-anak ini membuat Unicef dan UNFPA meluncurkan sebuah kampanye dalam bentuk video berjudul 'Sadly Ever After' dengan tagar #endchildmarriage.
Hanya dalam waktu sepekan, video berdurasi 1 menit 32 detik itu telah dilihat oleh 17 juta orang di Facebook.
Sepintas video tersebut menampilkan impian masa kecil akan sebuah pernikahan yang indah. Saat piring dan peralatan makan berlapis perak ditata rapi di atas meja, gaun cantik dan sepatu putih digantung dan tersusun rapi, sebuah gedung yang dihiasi dengan bunga-bunga dengan banyak para tamu undangan yang hadir, ditambah persiapan sang pengantin untuk terlihat cantik bagi pasangannya.
Namun, adanya buku mewarnai dan sebuah boneka beruang dalam video menandakan ada sesuatu yang salah yang tengah terjadi.
"Ini terlihat seperti pernikahan dalam dongeng. Kecuali satu hal," Unicef menulis pada halaman Facebook-nya.
Saksikan video kampanye Unicef berikut ini: