Liputan6.com, Jakarta - Awal tahun 2003, konflik senjata antara Amerika Serikat dan Irak memuncak. Presiden AS George W Bush memutuskan untuk melakukan invasi ke Irak untuk memusnahkan program senjata pemusnah massal di negara Timur Tengah tersebut.
Dalam tayangan televisi, Bush menegaskan, selain untuk menghentikan pengembangan senjata pemusnah massal yang dianggap membahayakan dunia, pihaknya ingin menyelamatkan warga Irak dari rezim Saddam Hussein yang dianggap menjalankan pemerintahan tidak demokratis.
Baca Juga
"Lucuti pasukan Irak dan merdekakan rakyatnya. Kami akan bawa demokrasi di Irak," ujar Bush, seperti dimuat BBC.
Advertisement
Serangan ini diputuskan setelah tenggat waktu ultimatum AS agar Saddam Hussein keluar dari Irak telah lewat.
Dalam serangan pertama pada 20 Maret 2003, Amerika Serikat meluncurkan serangan rudal dari jet tempur F-117 dan kapal laut tempur yang ditargetkan mengenani Saddam Hussein. Kendati pada kenyataannya, serangan itu meleset.
Alih-alih mengenai Saddam Hussein, serangan rudal dilaporkan telah membuat warga Irak di Doura, daerah pinggiran selatan, terluka.
Inggris ikut membantu AS melancarkan invasi ke Irak. Perdana Menteri Inggris Tony Blair menyatakan pihaknya mendukung AS untuk mengusir Saddam dari Irak dan menghancurkan senjata pemusnah massal.
Langkah AS dan Inggris mendapat banjir protes dari para demonstran di sejumlah negara, termasuk di Indonesia. Presiden Rusia Vladimir Putih mengatakan langkah Barat tak bisa dibenarkan. Sementara China melapor ke PBB bahwa invasi ini telah melanggar Piagam PBB.
Meski demikian, Bush menegaskan bahwa langkahnya sudah tepat untuk membawa demokrasi di Irak. "Saddam yang sangat berbahaya itu akan kami atasi. Kami akan tetap pada pendirian kami," cetus Bush.
AS dan Inggris melanjutkan serangan dalam beberapa bulan ke depan. Pasukan Irak masih berhasil menahan serangan. Pada akhirnya, pihak Barat menghentikan gempuran pada 28 Juni 2004. Saddam Hussein ditangkap pada Desember 2003 dan dihukum mati pada 30 Desember 2006.