Liputan6.com, Jakarta - Hari itu, 26 Maret 1979, Pemerintah Israel dan Mesir akhirnya sepakat mengakhiri perang yang telah berlangsung dalam 30 tahun terakhir. Kesepakatan tersebut disetujui kedua belah pihak di Gedung Putih, Washington, di mana Amerika Serikat berperan sebagai mediator.
Dalam kesempatan tersebut, Presiden Mesir Anwar al-Sadat dan Perdana Menteri Israel Manachem Begin berjabat tangan sebagai simbol berdamai, disaksikan langsung oleh Presiden AS Jimmy Carter. Juga disiarkan langsung di stasiun televisi hingga menyebar menjadi berita internasional.
Presiden Mesir Anwar al-Sadat menyatakan terima kasih kepada Presiden AS Jimmy Carter yang dia nilai telah berhasil membawa angin perdamaian di Timur Tengah. Sementara Carter mengatakan perdamaian ini baru langkah awal.
"Kedua pihak mesti melanjutkan langkah damai dan menjaga terus perdamaian ini," kata Carter, seperti dimuat BBC.
Baca Juga
Bagaimana pun juga, kesepakatan damai ini mendapat protes keras dari negara-negara di Timur Tengah. Aksi demonstrasi riuh di sejumlah negara. Sebab ada beberapa kesepakatan yang dianggap tidak menguntungkan dunia Arab.
Perjanjian damai ini tercapai setelah Israel sepakat menarik pasukannya dari Semenanjung Sinai dan Mesir sepakat mengakui keberadaan Israel sebagai sebuah negara.
Atas kesepakatan ini, Pemimpin Palestina Yasset Arafat berang. Dia dan sejumlah pemimpin negara Arab lain, seperti Presiden Suriah Bashar al-Assad, Raja Yordania Hussein dan Presiden Irak Hassen al Bakr menggelar pertemuan untuk menentang perjanjian tersebut.
Namun upaya tersebut tak mengubah keputusan. "Padahal banyak rakyat Mesir yang tak setuju dengan langkah Sadat," ujar Yasser Arafat.
Alhasil, protes di Mesir terus mengemuka ke telinga Saddat selama ia berkuasa. Pada tahun 1981, Presiden Sadat tewas dibunuh kelompok ekstrem yang menentang keras perdamaian Mesir dan Israel.