Liputan6.com, Jakarta - Pada 28 Maret 1981, pesawat maskapai Garuda Indonesia dibajak. Pembajakan berdarah yang menelan korban jiwa ini merupakan yang pertama dalam sejarah penerbangan Indonesia.
Pagi itu, sekitar pukul 08.00 WIB, pesawat Garuda Indonesia dengan nomor penerbangan 206 berangkat dari Bandara Soekarno-Hatta, Jakarta ke Bandara Polonia, Medan.
Baca Juga
Pesawat DC-9 Woyla itu transit di Pangkalan Udara Talang Betu, Palembang dan akan terbang ke Medan dengan perkiraan waktu sampai, yakni pukul 10.55 WIB.
Advertisement
Dalam perjalanan dari Palembang ke Medan, tiba-tiba 5 anggota kelompok ekstremis 'Komando Jihad' yang menyamar sebagai penumpang beraksi. Seorang pelaku menuju ke kokpit dan yang lainnya berdiri di gang antara tempat duduk pesawat. Dengan senjata api, mereka meminta pilot untuk menerbangkan pesawat ke Kolombo, Srilangka.
Â
Baca Juga
Pesawat sempat mendarat sementara di Bandara Penang, Malaysia untuk mengisi bahan bakar. Garuda Indonesia ini kemudian melanjutkan perjalanan ke Thailand dan mendarat di Bandara Don Mueang, Bangkok, Thailand. Di sini, klimaks pembajakan terjadi.
Para pelaku meminta agar anggota Komando Jihad yang ditahan akibat peristiwa Cicendo dibebaskan. Mereka juga menuntut uang sejumlah USD 1,5 juta, pesawat untuk pembebasan tahanan dan terbang ke tujuan yang dirahasiakan.Â
Selain itu, para ekstremis ini mengancam telah memasang bom di pesawat Woyla dan tidak segan untuk meledakkan diri bersama pesawat tersebut jika Pemerintah Indonesia dianggap tak kooperatif.
Menanggapi hal itu, militer Indonesia memutuskan untuk mengerahkan pasukan Kopassandha (Nama satuan Kopassus saat itu) untuk melakukan penyergapan di bandara Thailand tersebut.
Pukul 02.30 tanggal 31 Maret, prajurit bersenjata mendekati pesawat secara diam-diam dan akhirnya berhasil melumpuhkan para teroris.
Namun dalam serbuan operasi kilat Grup-1 Para-Komando yang dipimpin Letnan Kolonel Infanteri Sintong Panjaitan, pilot pesawat Garuda, Kapten Herman Rante, dan Achmad Kirang, salah satu anggota satuan Para-Komando Kopassandha, meninggal dalam baku tembak.
Para anggota Grup-1 Para-Komando termasuk pimpinan Letnan Kolonel Infanteri Sintong Panjaitan dianugerahi Bintang Sakti dan dinaikkan pangkatnya satu tingkat, kecuali Achmad Kirang yang gugur di dalam operasi tersebut dinaikkan pangkatnya dua tingkat secara anumerta.
Usai peristiwa itu, sejumlah anggota Komando Jihad ditahan. Imran bin Muhammad Zein selaku otak peristiwa pembajakan pesawat DC-9 ini kemudian dijatuhi hukuman mati oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada tahun 1981.
Maman Kusmayadi dan Salman Hafidz bernasib sama dengan Imran dan dieksekusi mati.