Liputan6.com, Jakarta - Kelompok Abu Sayyaf membajak kapal Tugboat Brahma di perariran Filipina pada Sabtu 26 Maret 2016. Sebanyak 10 WNI yang merupakan anak buah kapal (ABK) tersebut kemudian dibawa ke darat untuk disandera. Mereka menuntut uang tebusan 50 juta peso atau sekitar Rp 14,3 miliar jika sandera ingin tetap dalam kondisi selamat.
Keberadaan Abu Sayyaf tak lepas dari sejarah Moro National Liberation Front (MNLF). Organisasi tersebut merupakan gerakan yang menuntut kemerdekaan dari pemerintah Filipina, guna mendirikan negara Islam di Filipina Selatan.Â
Baca Juga
Baca Juga
Dalam berbagai sumber yang dihimpun Liputan6.com, Rabu (30/6/2016), situasi politik menjadi berubah saat pemerintah Filipina bernegosiasi dengan MNLF pada 1975. Dari pertemuan itu, lahir persetujuan yang diteken pada 23 Desember 1976. Persetujuan yang dinamakan kesepatan Tripoli itu menyatakan adanya otonomi khusus bagi MNLF di wilayah Filipina Selatan.
Advertisement
Daerah tersebut adalah mencakup 13 provinsi. Yaitu Basilan, Sulu, Tawi-Tawi, Zamboanga del Sur, Zamboanga del Norte, Cotabato utara, Manguindanao, Sultan Kudarat, Lanao Norte, Lanao Sur, Davao Sur, Cotabato selatan, dan Palawan.
Selain itu, otonomi penuh juga diberikan pada bidang pendidikan dan pengadilan. Sementara bidang pertahanan dan politik luar negeri tetap menjadi wewenang pemerintahan pusat di Manila.
Tuai Perpecahan
Namun kesepakatan itu menuai perpecahan di internal MNLF. Akibatnya muncul faksi Moro Islam Liberation Front (MILF). Selain itu, ada anggota MNLF Abdurrajak Janjalani yang mengkritik keras kepemimpinan Nur Misuari dalam MNLF. Dia menyatakan tidak setuju atas langkah MNLF yang melakukan proses perundingan dengan Manila.
Kemudian, Abdurrajak Janjalani terbang ke Libya untuk menjalani pelatihan keagamaan. Selama lima tahun di sana, ia lalu kembali ke Basilan dan menjadi penceramah karismatik serta penggagas pendirian negara Islam di Mindanao, Filipina Selatan. Organisasinya itu kemudian disebut sebagai kelompok Abu Sayyaf.
Kelompok Abu Sayyaf ini juga dikenal sebagai Al Harakat Al Islamiyyah, merupakan kelompok yang terdiri dari milisi Islam berbasis di sekitar kepulauan selatan Filipina, antara lain Jolo, Basilan, dan Mindanao.
Angkatan bersenjata Filipina menyebut Abdurrajak sebagai pemimpin kelompok ini. Pada 18 Desember 1998, ia terbunuh dalam pertempuran dengan polisi di Kampong Lamitan, Basilan. Sepeninggal Abdurrajak, kelompok ini terpecah dalam faksi yang berbeda-beda. Kegiatannya pun lebih diwarnai oleh perampokan dan penculikan ketimbang perjuangan politik.
Hal itu terbukti dari sejumlah rekam jejaknya. Apa saja? Berikut ini ulasannya:
Advertisement
Culik Wisatawan
Pada tahun 2000, kelompok Abu Sayyaf menculik 21 sandera. 10 Di antaranya para wisatawan dari Eropa dan Timur Tengah, sementara 11 adalah pekerja resort Malaysia. Semua sandera kemudian diselamatkan oleh pasukan keamanan Filipina di Jolo, Sulu.
Kemudian tiga tahun berikutnya, enam orang asing diculik oleh 10 bajak laut Moro. Pada 2004, dua warga Serawak dan seorang warga Indonesia diculik oleh kelompok berbasis Abu Sayyaf.
Lalu, pada 2005, lima warga Filipina menculik tiga awak Indonesia dari sebuah perusahaan perdagangan berbasis Sandakan di Pulau Mataking berhampiran Semporna.
Lima tahun kemudian, yakni pada 2010, sekumpulan kru kapal nelayan ditangkap kelompok bersenjata Filipina ketika perahu mereka tersesat ke perairan Filipina dekat Pulau Boan. Semua kru kemudian dibebaskan tanpa uang tebusan. Juga pada tahun yang sama, seorang manajer dan pengawasan rumput laut diculik oleh empat warga Filipina bersenjata di Pulau Sebangkat. Kedua korban dibebaskan 11 bulan kemudian.
Sandera 10 WNI
Pada 2011, sepuluh warga Filipina bersenjata menculik seorang pengusaha Malaysia. Mereka ditengarai anggota Abu Sayyaf. Pada November 2013, tersangka militan Abu Sayyaf menewaskan seorang warga Taiwan di Pulau Pom Pom dan membebaskan istrinya sebulan kemudian di selatan Filipina.
Kemudian pada 2 April 2014, seorang turis China dan warga Filipina diculik dari Singamata Adventures Reef and Resort, Semporna. Dua bulan kemudian, mereka diselamatkan oleh pasukan keamanan Malaysia dan Filipina.
Dan teranyar pada Maret 2016, kelompok Abu Sayyaf menyandera 10 WNI yang merupakan awak kapal Brahma yang memuat batubara milik perusahaan tambang dari Banjarmasin, Kalimantan Selatan.
Advertisement