Liputan6.com, Chicago - Sebuah keluarga muslim asal Amerika Serikat 'ditendang' keluar dari pesawat di Bandara Internasional O’Hare Chicago pada 20 Maret 2016, pada awal liburan musim semi. Â
Kini, keluarga tersebut menuntut maaf dari pihak maskapai, United Airlines. Mereka merasa telah menjadi korban dari praktik profil rasial (racial profiling).
Keluarga yang terdiri dari 5 orang tersebut berasal dari Libertyville, Illinois. Dari Chicago, mereka menuju ke Washington DC.
Baca Juga
Namun, keluarga tersebut diminta keluar dari pesawat dengan 'alasan keamanan' setelah orangtua meminta pengaman tambahan di kursi untuk anak mereka yang paling kecil -- seperti permintaan mereka saat check in. Demikian dikabarkan Chicago Tribune.
Permintaan tersebut tak diindahkan. Pasangan orangtua tersebut kemudian memintanya berkali-kali pada awak kabin. Entah mengapa, kemudian pramugari meminta mereka pergi, dengan 'tenang' dan kembali ke gate.
Dalam postingan di Facebook yang telah dibagikan 630 ribu kali, sang ibu dalam keluarga tersebut Eaman-Amy Saad Shebley mengunggah video yang menunjukkan keluarganya diminta pergi dari pesawat.
Dalam video tersebut, sang ayah mempertanyakan mengapa keluarganya diminta meninggalkan pesawat. Dan, seseorang yang diduga adalah pilot menjawab, "Karena itu adalah keputusanku," demikian dikutip dari News.com.au, Senin (4/4/2016).
Nyonya Saad Shebley juga mempertanyakan keputusan tersebut. "Apakah ini keputusan yang diskriminatif? Apa alasannya?"
Dan pilot kemudian merespons. "Karena ini terkait masalah keamanan."
Bersama dengan video, Saad Shebley memposting kalimat: "Anda sungguh memalukan #unitedAirlines karena memprofilkan keluargaku (secara rasial) dan juga diriku tanpa alasan lain di luar penampilan kami, lalu menendang kami keluar dari pesawat dengan 'alasan keselamatan penerbangan' dalam penerbangan kami ke DC dalam rangka liburan musim semi anak-anak," kata dia.
"Bagikan sehingga kita, warga Amerika Serikat bisa berdiri bersama melawan diskriminasi."
Dalam wawancara dengan media, perempuan tersebut mengaku merasa diasingkan, dipermalukan, dan dibuat tak berdaya.
Dalam pernyataannya, United Airlines mengatakan, keluarga tersebut diminta meninggalkan pesawat karena, "kekhawatiran terkait instrumen keselamatan di kursi anak mereka, tak sesuai dengan peraturan keselamatan federal".
Namun, Ahmed Rehab, direktur eksekutif Dewan Hubungan Amerika-Islam mempertanyakan mengapa keluarga tersebut diminta pergi, hanya untuk alasan seperti itu.
"Kami merasa lelah mendapat kabar penumpang yang kelihatan muslim dikeluarkan dari penerbangan karena alasan sepele, di balik kedok klaim demi 'keamanan'," kata dia.
Rehab mengatakan, penumpang lain dalam pesawat membela keluarga tersebut, dengan mengatakan mereka tak melakukan kesalahan apapun.
Pasangan orangtua dan 3 anak mereka kemudian terbang ke Washington DC dengan maskapai yang sama, namun memesan tiket pulang dengan maskapai berbeda.
Rehab mengatakan, keluarga tersebut menuntut maaf secara resmi dari pihak maskapai.
United Airlines juga diminta memberikan sanksi pada awaknya yang terlibat, dan memberikan ganti rugi penggantian untuk penerbangan kembali (return) dan biaya yang timbul dari pergantian rencana perjalanan mereka.
"Keluarga ini tidak melakukan apa pun, yang pantas dibalas dengan cemoohan awak pesawat -- selain mencoba untuk mendapatkan cara terbaik untuk mengamankan bayi mereka. Keterangan beberapa saksi menguatkan itu, "kata Rehab.
Sebelumnya United Airlines juga dituduh memperlakukan penumpang muslimnya dengan tidak baik.
Mei 2015 lalu, dalam penerbangan dari Chicago ke Washington DC, pramugari diduga mengatakan pada seorang muslimah, Tahera Ahmad bahwa ia tak boleh membuka minuman kaleng Diet Coke karena dikhawatirkan akan menggunakannya sebagai senjata.
Insiden tersebut memicu tagar #UnitedforTahera dan seruan boikot pada United Airlines -- yang baru berakhir setelah pihak maskapai meminta maaf secara resmi sepekan kemudian.
Di sisi lain, para pramugari Air France tak terima diperintahkan menggunakan kerudung dalam penerbangan di dan ke Teheran, ibu kota Iran.