Liputan6.com, London - Jika dilihat dari sudut pandang masyarakat modren, ritual pengorbanan manusia nampak brutal dan tak manusiawi. Namun ternyata hal tersebut dianggap wajar oleh masyarakat yang hidup di zaman dulu.
Berdasarkan penelitian, para ilmuwan meyakini ritual tersebut bertujuan agar para dewa menjaga kedamaian hidup masyarakat dan menciptakan komunitas yang stabil dengan hirarki sosial.
Baca Juga
Studi yang dilakukan di 93 budaya yang terdapat di Asia, Oseania, dan Afrika menunjukkan bahwa praktek pengorbanan manusia membantu membangun otoritas dan mendirikan sistem masyarakat yang memiliki kelas-kelas tertentu.
Advertisement
Awalnya pengorbanan manusia tersebar di budaya Austronesia -- rumpun bahasa yang meliputi Madagaskar, Tonga, Tahiti, Hawai, Asia Tenggara, Taiwan, Oseania, Suriname, dan Selandia Baru -- yang digunakan sebagai hukuman terberat, ritual pemakaman, dan menguduskan kapal baru.
Baca Juga
Biasanya korbannya merupakan orang yang memiliki status sosial rendah, seperti budak, sedangkan pihak yang menginisiasinya dari kalangan berstatus sosial tinggi, seperti kepala masyarakat.
Sejak Bangsa Eropa membangun koloni di Amerika pada 500 tahun lalu, para ahli telah mengklaim bahwa ritual pengorbanan tersebut merupakan bentuk pemurnian sosial. Mereka mendeskripsikan cara tersebut sebagai pembenaran konflik politik maupun sumber makanan atau kanibalisme.
Seperti yang dikutip dari Daily Mail, Rabu (6/4/2016), para peneliti dari Universitas Wellington dan Auckland, the Max Plank Institute for the Science of Human History di Jerman, the Australian National University dan the Allan Wilson Centre for Molecular Ecology and Evolution di New Zealand menguji kebenaran asumsi tersebut.
Penulis utama dari studi tersebut, Joseph Watts, mengkaji tentang evolusi pohon keluarga dari 93 masyarakat tradisional Austronesia yang dipublikasi dalam jurnal Nature. Ia meneliti lingkungan dan struktur sosial masyarakat yang sangat beragam, mulai dari masyarakat egaliter hingga pemerintahan sipil yang kompleks.
Di dalam penelitian tersebut dijelaskan, "Budaya Austronesia telah dideskripsikan sebagai laboratorium alami untuk penelitian lintas budaya karena beragamnya lingkungan tempat tinggal dan fitur budaya yang berevolusi."
Dalam setiap budaya, para peneliti mencatat ada atau tidaknya pengorbanan manusia dan menandainya menurut tingkatan sosial.
Budaya yang hanya mewarisi sedikit perbedaan kekayaan dan status ditandai sebagai masyarakat egaliter, sedangkan sebaliknya ditandai sebagai masyarakat dengan tingkatan sosial tinggi.
Penelitian tersebut mengungkap bahwa sebanyak 43 persen sampel budaya melakukan ritual pengorbanan manusia. Hasil studi tersebut juga menunjukkan bahwa sebanyak 25 persen masyarakat egaliter melakukan ritual tersebut.
Pada sistem masyarakat yang memiliki tingkatan jelas, yaitu hirarki sosial moderat dan tinggi, mempunyai kebiasaan melakukan ritual pengorbanan manusia lebih tinggi dengan angka masing-masing 37 dan 67 persen.
Para peneliti juga menemukan bahwa pengorbanan manusia terbukti dapat menstabilkan hirarki sosial setelah sistem tersebut muncul. Mereka berkata bahwa dengan dilakukannya ritual tersebut, pergeseran status sosial akan menjadi sulit dan menyebabkan orang-orang berstatus sosial tinggi akan tetap menjadi orang penting.
Dalam jurnal Nature mereka menulis, "Dalam kebudayaan Austronesia, pengorbanan manusia digunakan untuk menghukum kejahatan tabu, anggota masyarakat kelas bawah yang memberontak, penanda kelas sosial, dan menanamkan rasa takut pada elit sosial. Hal tersebut menunjukkan mekanisme potensial yang beragam untuk membangun kontrol sosial."
Penelitian tersebut juga menjelaskan hubungan antara ritual pengorbanan manusia dengan menjaga stratifikasi sosial. "Ketika banyak hal yang dapat membantu membangun dan menjaga stratifikasi sosial, pengorbanan manusia mungkin menjadi yang paling efektif karena dapat memperkecil potensi balas dendam dari korban..."
Berdasarkan temuan mereka, para peneliti menduga bahwa ritual keagamaan mempunyai peranan 'gelap' dalam evolusi masyarakat moderen yang kompleks.
Dalam publikasi penelitian itu juga ditulis, "Dalam budaya tradisional Austronesia terdapat tumpang tindih antara agama dan politik yang substansial, dan ritual pengorbanan manusia mungkin telah terkoooptasi oleh para elit sebagai sanksi Tuhan untuk kontrol sosial."
"...Kami menduga bahwa ritual pengorbanan manusia membantu transisi kelompok masyarakat egaliter menjadi masyarakat yang memiliki stratifikasi luas seperti yang sedang kita alami sekarang."