Liputan6.com, Gaza - Homam al-Ghussein berusia 24 tahun ketika pertama kali ia merasakan menonton film di bioskop. Kini usianya 44 tahun dan ia pun begitu menantikan saat itu bisa terulang lagi.
Kenapa begitu lama? Alasannya karena al-Ghussein tinggal di Gaza, wilayah tanpa bioskop dalam 20 tahun terakhir karena rangkaian kekerasan di sana.
Baca Juga
Baca Juga
Dengan segala batasan, penduduk Gaza juga tak bisa pergi begitu saja untuk menonton bioskop. Namun banyak hal mulai berubah. Penayangan film di tempat umum sudah mulai terjadi, berkat sebuah proyek pribadi.
Advertisement
Informasi proyek itu lantas dengan cepat menyebar di dunia maya dan mendapat lebih dari 7 ribu like di akun Facebook-nya.
"Rasanya luar biasa. Aku akan selalu datang untuk menonton setiap film yang diputar," kata al-Ghussein yang bekerja sebagai arsitek.
Gaza yang merupakan daerah berpenduduk 1,9 juta jiwa di Palestina, berada di bawah kendali ketat pihak keamanan Israel dan Mesir. Hanya orang dengan izin khusus yang bisa keluar masuk wilayah itu.
Tiga perang selama tiga dekade serta blokade telah membuat Gaza seperti kantong miskin tanpa infrastruktur dan pilihan untuk kegiatan hiburan nyaris tak tersedia.
Kelompok Hamas yang memerintah di Gaza juga memberlakukan ajaran konservatif dengan melarang hal-hal yang berbau kebudayaan Barat.
Karena tak ada gedung bioskop, pemutaran film dilakukan di markas Bulan Sabit Merah.
Husam Salam yang menjadi penyelenggara menyatakan adanya permintaan tinggi dan tiap pemutaran mendatangkan 120-200 penonton, kebanyakan keluarga atau kelompok pertemanan.
"Kami tak punya bioskop, tak ada perpustakaan umum. Tak ada tempat untuk kegiatan kebudayaan dan upaya pemerintah dalam hal ini sedikit sekali," kata Salam yang bekerja dengan Ain Media yang mensponsorinya.
Tiket bioskop yang dikelola Salam ini seharga 10 shekels atau sekitar Rp 30 ribu. Harga itu dianggap masih bisa terjangkau oleh penduduk yang kebanyakan menganggur dan hidup dari bantuan makanan ini.
Pemutaran ini bisa berlangsung lantaran Hamas juga melonggarkan sikap untuk kegiatan kebudayaan di Gaza.
Pilihan Film
Awalnya, film yang diputar adalah film bertema sejarah Palestina, tapi kini sudah mulai judul yang lebih populer seperti animasi Pixar, Inside Out. Namun film bertema kontroversial belum bisa diharapkan berhubung semua film harus disetujui oleh pihak berwenang Hamas.
"Untuk tiap film, kami beri ringkasan ceritanya kepada pihak berwenang, lalu mereka memberi persetujuan," kata Salam.
Proyek ini dimulai Januari 2016 dengan film Oversized Coat, karya Nawras Abu Saleh. Ia dalah sutradara Palestina yang tinggal di Amman, Yordania.
Film itu berkisah mengenai sejarah Palestina 1987-2011, termasuk dua kali peristiwa perang melawan pendudukan Israel.
Bioskop Dahulu Kala
Dahulu bioskop biasa ditemukan di Gaza, tetapi dihancurkan pada perang Palestina pertama pada 1987.
Warga mengatakan saat itu, banyak kelompok kontra dengan pemutaran tersebut sehingga banyak bioskop diserang. Meski sempat diperbaiki, namun kekerasan yang kembali terjadi beberapa tahun mendatang akibat pertempuran internal antara pasukan Otoritas Palestina dan Hamas, kembali membuat bangunan teater hancur.
"Ayahku sering cerita bahwa ia dulu menyisihkan uang saku untuk pergi ke bioskop setiap akhir pekan," kata Rama Humeid, 30 tahun, petugas komunikasi dari kamp pengungsi Jabaliya di Gaza bagian utara.
"Belakangan ini saya lihat banyak kegiatan kebudayaan seperti Gaza Cinema dan festival musik. Kehidupan di Gaza tak mudah," imbuh Humeid.