Liputan6.com, Lilongwe - Di Malawi, menjadi seorang albino bisa berarti maut. Mereka yang mengalami albinisme atau kondisi genetik yang menyebabkan hilangnya pigmen melanin pada mata, kulit, dan rambut, kerap jadi target kekerasan dengan alasan klenik.
Pakar PBB bahkan menyebut intensitas kekerasan sudah masuk kategori 'pemusnahan sistematis'.
Dalam catatan polisi, sejak akhir 2014 setidaknya sudah ada 65 kasus kekerasan terhadap orang pengidap albinisme, termasuk pembunuhan dan mutilasi, demikian menurut Ikponwosa Ero, pakar independen PBB untuk HAM dan albinisme.
Advertisement
Dikutip dari Timeslive.co.za, Jumat (6/5/2016), orang-orang albino terancam bahaya di sejumlah bagian dunia mengait-kaitkan bagian tubuh mereka yang istimewa dengan tenung atau ilmu hitam.
Bagian tubuh orang albino diperjualbelikan dengan harga selangit. Jimat yang terbuat dari bagian tubuh mereka diyakini akan mendatangkan keberuntungan dan kemakmuran.
Di sisi lain, banyak warga di sana yang percaya bahwa anak-anak albino membawa sial.
Baca Juga
Di Malawi, ada sekitar 10 ribu warga dengan albinisme di antara sekitar 16,5 juta penduduk dan situasi di sana. "Ini menjurus kepada keadaan darurat, yaitu krisis yang mengusik karena proporsinya," kata wanita pakar PBB tersebut.
"Beberapa warga Malawi dengan albinisme yang pernah ditemuinya membandingkan nasib mereka seperti spesies liar yang terancam punah," kata Ero kepada Thomson Reuters Foundation lewat wawancara telepon dari Malawi.
Menurutnya, orang-orang dengan albinisme adalah "orang-orang di bawah ancaman yang menghadapi risiko pemusnahan sistematik dengan berjalannya waktu kalau tidak dilakukan apa pun."
Ero, yang berasal dari Nigeria dan juga seorang albinisme, memulai tugasnya pada Agustus lalu sebagai pakar independen pertama PBB untuk masalah ini.
Albinisme adalah gangguan bawaan lahir yang berdampak pada sekitar 20 ribu orang di seluruh dunia. Penderitanya kekurangan pigmen pada kulit, rambut, dan mata. Gangguan ini lebih sering terjadi di kawasan sub-Sahara, Afrika.
Serangan-serangan terhadap orang dengan albinisme berlangsung brutal. Kadang-kadang korbannya dipotong-potong hidup-hidup oleh para pelaku bergolok, kata Ero dalam laporan pertamanya di awal tahun ini.
Secara khusus, sang pakar merasa terhenyak dengan keadaan seorang remaja bernama Alfred (17) yang ditemuinya di Malawi. Remaja itu ditemukan bersimbah darah setahun lalu setelah ditikam saat sedang tidur oleh para penyerang berparang.
Remaja itu lebih banyak diam ketika bertemu dengan sang pakar. Ia belum pulih dan berhenti bersekolah sejak serangan itu. "Entah bagaimana jadinya remaja ini," kata Ero.
Serangan-serangan terhadap orang dengan albinisme tahun ini juga dilaporkan terjadi di Burundi, Mozambique dan Zambia, demikian menurut lembaga amal Kanada, Under the Same Sun.
Dalam laporan lain yang diterbitkan oleh Amnesty International, jasad seorang wanita bernama Eunice Phiri (53) ditemukan di Kasungu National Park pada 28 Januari lalu. Dua tangannya telah dipotong.
Menurut laporan polisi, Phiri dibujuk oleh 3 pria untuk menemani mereka berjalan-jalan ke Zambia melewati Kasungu National Park. Ia dibunuh dan tubuhnya dipotong-potong pada 23 Januari. Salah satu pria yang mengajaknya berjalan-jalan adalah saudara lelakinya sendiri.
Padahal, pada 19 Maret 2015, Presiden Peter Mutharika telah melontarkan kutukan maraknya kekerasan atas warga dengan albinisme dan menyerukan agar polisi bertindak tegas.