Sukses

Pilihan Politik 'Dicetak' dalam Genetik Manusia?

Perkembangan sikap politik, secara rata-rata, bergantung 60 persen dari lingkungan tempat kita dibesarkan dan 40 persen dari gen kita.

Liputan6.com, Sydney - Sudah cukup lama para peneliti maupun orang awam mengkaitkan pandangan politik seseorang dengan pola asuh dan lingkungan. Ternyata, suatu penelitian terkini menunjukkan bahwa kecenderungan politik kita memiliki komponen genetik yang cukup besar. Dari faktor keturunan.

Penelitian terbesar tentang pandangan politik teranyar dilakukan pada 2014. Penelitian itu mengamati contoh dari 12 ribu pasangan kembar dari 5 negara, termasuk AS. Pasangan kembarnya mencakup kembar identik maupun kembar paternal, dan semuanya dibesarkan secara bersama-sama. 

Dikutip dari Scientific American pada Sabtu (7/5/2016), penelitian Behavior Genetics itu mengungkapkan bawha perkembangan sikap politik, secara rata-rata, bergantung 60% kepada lingkungan tempat kita dibesarkan dan 40% kepada gen kita.

"Kita mewarisi sebagian dari cara kita memproses informasi, bagaimana kita memandang dunia dan bagaimana kita memandang ancaman-ancaman. Semua ini, dalam masyarakat modern, muncul sebagai sikap-sikap politik," kata Peter Hatemi, seorang ahli genetik epidemiologi di University of Sydney. Ia juga sekaligus menjadi pimpinan penulisan penelitan ini.

Gen-gen yang terlibat dalam ciri-ciri kompleks itu memang susah ditentukan, karena mereka cenderung melibatkan begitu banyaknya proses-proses jasmani dan kognitif, yang masing-masing memainkan peran kecil dalam membentuk sikap politik kita.

Walaupun rumit, suatu penelitian pada 2015 yang diterbitkan dalam Proceedings of the Royal Society B berhasil melakukannya. Temuannya menunjukkan bahwa gen-gen yang memberi kode pada reseptor-reseptor tertentu untuk dopamin di neurotransmitter, ternyata berkaitan dengan keberadaan kita di garis sumbu antara liberal dan konservatif.

Di antara kaum wanita yang sangat liberal, 62% merupakan pembawa genotip untuk reseptor tertentu yang sebelumnya diketahui berkaitan dengan ciri-ciri esktroversi (keterbukaan) dan mencari-cari hal baru. Sebaliknya, di antara kaum wanita yang sangat konservatif, proporsinya hanya 37,5%.

"Diduga, para pencari hal-hal baru lebih berminat pada gagasan perubahan, termasuk dalam bidang politik," kata pimpinan penulisan, Richard Ebstein, yang adalah ahli genetik molekuler di National University of Singapore (NUS).

Namun demikian, ia mengakui bahwa gen dopamin sebenarnya hanya merupakan bagian kecil dari seluruh kisah caranya kita mewarisi sikap-sikap politik kita, karena ada ratusan gen lain yang juga ikut terlibat.

Temuan-temuan genetik ini sejalan dengan banyak penelitian psikologi yang telah menengarai bahwa sikap-sikap politk berhubungan dengan ciri-ciri kepribadian. Misalnya, keterbukaan kepada pengalaman menjurus kepada ideology liberal. Lalu, kehati-hatian sejalan dengan sikap konservatif.

Namun demikian, bukti-bukti yang ada menengarai bahwa sikap-sikap politik tidak seluruhnya bisa dijelaskan menurut kepribadian seseorang. Keduanya lebih berkemungkinan berakar secara mandiri kepada hal yang oleh Hatemi disebutnya sebagai "arsitektur psikologis bersama".

Hatemi dan rekannya, Brad Verhulst, seorang ahli ilmu politik di Pennsylvania State University, menerbitkan penelitian pada 2015 di PLOS ONE yang menunjukkan bahwa perubahan kepribadian seseorang dalam masa 10 tahun tidak bisa meramalkan perubahan dalam sikap-sikap politiknya.

Yang jelas, hasil-hasil awal penelitian genetik ini mendukung hipotesis yang menyatakan bahwa pandangan politik dapat sangat bergantung kepada proses-proses yang sangat mendasar dalam otak. Proses-proses tersebut adalah naluri purba manusia untuk menghindari bahaya dan kotoran, yang kita alami sebagai ketakutan dan rasa jijik.

Para ahli psikologi di University of Warwick di Inggris baru-baru ini mengajukan sebuah teori yang senada,melalui makalah dalam jurnal Topics in Cognitive Science pada Januari lalu.

Dengan menggunakan simulasi komputer, mereka menunjukkan bahwa para lelulur manusia bertemu dengan kelompok-kelompok asing, sehingga mereka harus membuat pilihan-pilhan di antara sejumlah kesempatan semisal pasangan baru dan perdagangan, maupun risiko-risiko semisal paparan kepada patogen (kuman penyakit) baru.

Di daerah-daerah dengan tingkat infeksi yang tinggi, model komputer itu menunjukkan bahwa kekuatan dorongan evolusi adalah ketakutan kepada pihak-pihak luar, kesesuaian (conformity), dan sukuisme (ethnocentrism). Dalam zaman modern, hal-hal itu kita sebut sebagai konservatisme sosial.