Sukses

Hillary-Trump, 2 Capres Paling 'Dibenci' dalam Sejarah Pemilu AS?

Menurut rata-rata dari RealClearPolitics, 65 persen dari orang-orang membenci Trump. Sementara Hillary 55 persen.

Liputan6.com, Washington, DC - Pemilihan primary di negara bagian Indiana yang diselenggarakan minggu lalu adalah penentu. Hasilnya menunjukkan pilihan warga AS terhadap calon dari masing-masing partai.

Tahun 2016, Partai Demokrat cenderung memilih Hillary Clinton, yang tak disukai oleh mayoritas pemilih. Lawannya, sang miliader Donald Trump senasib sama dibenci oleh banyak orang.

Apabila bangkitnya Trump tidak memiliki berbagai preseden yang memuakkan, pemilu capres AS tak bakal seramai ini.

Hillary yang meyakinkan elite partai kalau dirinya bakal menang mudah, ternyata dihadapi kenyataan bahwa nasibnya persis sama dengan George W. Bush ketika nyaris memenangkan pemilu 2004 lalu.

Trump bahkan lebih parah lagi, karena ia memiliki rating negatif di antara pemilih non-kulit putih semenjak kampanye tahun 1965 yang dilakukan Barry Goldwater.

"Dalam sejarah pemilihan, pada dasarnya AS pernah punya sejarah kandidat yang dibenci oleh setengah lebih para pemilihnya. Namun kali ini, luar biasa..." kata Senator dari Partai Republik Ben Sasse dalam memonya kepada partai berlambang gajah seperti dilansir dari Washington Post, Senin (9/5/2016).

"Ada lebih banyak begundal di kota saya yang jauh lebih terkenal daripada dua 'pemimpin' itu," lanjut memonya lagi.

Menurut rata-rata dari RealClearPolitics, 65 persen dari orang-orang membenci Trump. Sementara Hillary 55 persen.

Pendukung Saling Membenci

Belum lagi membicarakan masing-masing idola. Kebanyakan pendukung Donald Trump benci pendukung Hillary demikian sebaliknya.

Hal yang sama terungkap lewat polling Reuters/Ipsos. Hal itu membuat kekhawatiran direktur University of Virgina's Center for Politics, Larry Sobato.

"Fenomena ini disebut partisan negatif. Kalau kita ingin memaksimalkan efeknya, tak ada kandidat lain yang lebih baik daripada Trump dan Clinton," kata Sobato.

Survei itu menghasilkan jika pemilu diadakan sekarang, Hillary bakal jadi presiden AS dengan menang tipis 40,5 persen dan Trump mendapat suara 32,3 persen. Sementara suara abstain 27,2.

 Sejumlah pemrotes berdiri di tengah pendukung Donald Trump(REUTERS/Chris Keane)

"Semua orang menyukai Hillary," kata Pamela Hatwood salah seorang pendukung mantan menteri luar negeri AS itu.

Sama halnya dengan pendukung lain, seorang pria berusia 40 tahun yang mengatakan Hillary adalah perempuan yang hebat. "Oleh sebab itu banyak yang takut dengannya," kata Stephen Yanusheskhy.

Bukan tanpa sebab masalah gender dikemukakan. Beberapa waktu lalu, setelah menang di 5 negara bagian, Donald Trump sesumbar memainkan kartu 'wanita' terhadap Hillary.

Pemilih Trump pun beragam. Salah satunya adalah barisan 'sakit hati' massa Demokrat yang merasa tak puas dengan Obama. Salah satunya seorang perempuan kulit putih yang memutuskan mendukung Trump di Indiana.

Demonstran berusaha menerobos pembatas dan mencoba masuk hotel saat menggelar aksi menolak Donald Trump di Burlingame, California (29/4). aksi ini digelar depan Hotel Hyatt, lokasi Donald Trump melakukan kampanye Pilpres AS. (REUTERS/Noah Berger)

"Awalnya aku kaget juga melihat dia. Namun cukuplah, aku tak khawatir dia kalah, hanya khawatir orang-orang yang kini menjabat mencoba mencuri kesempatan Trump. Aku dulu milih Obama tahun 2008. Kali ini, berbalik, aku mendukung Republik dan Trump," kata Correy Fuller.

Di tiap kali kampanye, Donald Trump kerap kali sesumbar dengan banyaknya angka dukungan terhadapnya. Ia cenderung fokus pada angka itu seakan menunjukkan jiwanya yang kompetitif. Namun, ia tidak tak memperdulikan ada survei lain yang memperlihatkan kalau ia adalah kandidat paling tidak populer.

"Saya memenangkan tiap debat. Polling saya dimulai dari 4 persen hingga naik jadi peringkat pertama, dengan angka 68 persen. Anda bisa apa?" ujar Trump.

Petugas berjaga saat sejumlah wanita bertelanjang dada menolak Donald Trump di Burlingame, California (29/4). Demonstran menggelar aksi di depan Hotel Hyatt, lokasi Donald Trump melakukan kampanye Pilpres AS. (REUTERS/Noah Berger)

Namun, sesumbar Trump dan gaya bicaranya yang cenderung menghina perempuan dan pemilih non-kulit putih, membuat elite Grand Old Party (GOP) ketar-ketir.

Pemilu Paling Pahit

Menurut catatan, pemilu 2016 kali ini dianggap paling pahit dalam sejarah pemilihan presiden AS. Tahun 2008, sebuah survei memperlihatkan 24 persen pemilih takut kalau Obama jadi orang nomor satu di AS. 

Sementara 28 persen pemilih khawatir kalau lawan Obama, Sen. John McCain memang. Kedua kandidat itu memiliki tingkat kesukaan oleh para pemilih cukup tinggi, dibandingkan Trump dan Hillary.

Delapan tahun lalu, Hillary dan Obama bersaing ketat. Meski Hillary menang di pemilihan Indiana, Obama menjadi Demokrat pertama dalam 44 tahun yang memenangkan pemilu.

Di Indiana pula, nasib pesaing Donald Trump yang cukup diandalkan Partai Republik, Ted Cruz mundur.

Senator dari Texas itu berpikir rasional karena angka polling dan delegasi yang ia terima tak kunjung meningkat. Kendati demikian, para pendukungnya mengatakan, sebanyak 50 persen pemilih cenderung menyukainya dibanding Trump dan Hillary.