Liputan6.com, London - Pengungkapan data Panama Papers makin luas. International Consortium of Investigative Journalists (ICIJ) memutuskan untuk membagi basis data (database) yang mereka miliki secara online. Lebih dari 200.000 akun perusahaan offshore kini bisa dilihat.
Sejauh ini Panama Papers telah menguak sejumlah orang atau perusahaan offshore, yang diduga menghindari pajak dan sanksi dengan cara memindahkan aset mereka ke sejumlah negara yang menerapkan tarif pajak bahkan nol (tax haven).
Dokumen-dokumen tersebut adalah milik firma hukum yang berbasis di Panama, Mossack Fonseca. Data itu lantas dibocorkan oleh seorang berinisial 'John Doe' kepada media Jerman, Süddeutsche Zeitung, yang lantas membaginya ke ICIJ.
Advertisement
Menyusul kebocoran tersebut, firma hukum membantah pihaknya melakukan kesalahan.
Dokumen-dokumen itu menyingkap aset milik ratusan politisi, mantan pemimpin dan yang masih menjabat, selebritas hingga atlet olahraga.
Data yang kini bisa diakses secara online memiliki lebih dari 200.000 perusahaan shell, yayasan, trust yang berdiri di lebih dari 20 lokasi surga bebas pajak.
Di antara para klien Mossack Fonseca, ada nama-nama terkait Perdana Menteri Inggris David Cameron dan orang dekat Presiden Rusia Vladimir Putin.
Sementara Presiden Ukraina Petero Poroshenko, dan Pemimpin Argentina Mauricio Macri disebut gamblang. Ada juga nama bintang sepak bola Lionel Messi, bintang film Jackie Chan, dan sutradara Spanyol Pedro Almodovar.
Sementara itu, PM Islandia Sigmundur Gunnlaugsson terpaksa mundur diri akibat tekanan demonstrasi besar-besaran, setelah namanya muncul dalam daftar Panama Papers.
Mossack Fonseca mengatakan firma hukumnya tidak pernah melakukan atau dikenai perbuatan kriminal. Perusahaan itu justru menyatakan pihaknya adalah korban peretasan.
Perusahaan offshore tidak ilegal, tapi ada juga yang fungsinya yang merahasiakan hubungan perusahaan dan pemilik uang demi menghindari pembayaran pajak. Demikian dilansir dari BBC, Selasa (10/5/2016).
Alasan Pelaku Pembocoran
Informasi sebesar 2,6 terabyte-- 11,5 juta dokumen-- awalnya diberikan oleh 'John Doe' kepada surat kabar Jerman Sueddeutsche Zeitung, lebih dari setahun lalu.
Surat kabar itu lantas memberi akses kepada ICIJ. Bersama ratusan jurnalis, mereka kini mengolah data-data tersebut.
ICIJ bersikukuh bahwa database yang mereka rilis secara online bukan data 'mentah' seperti yang pernah dilakukan organisasi Wikileaks.
"Database yang dirilis secara online tidak termasuk akun bank dan transaksi finansial, email, serta koresponden lainnya seperti paspor, nomor telepon. Hanya informasi yang telah diseleksi dan terbatas yang bisa dilihat untuk kepentingan publik," kata pernyataan ICIJ.
Pada Senin 9 Mei 2016, 300 ahli ekonomi menandatangani kesepakatan agar memaksa para pemimpin dunia untuk mengakhiri daerah surga bebas pajak. Mereka mengatakan, itu hanya membuat keuntungan bagi segelintir orang kaya dan perusahaan multinasional sehingga membuat tingginya kesenjangan.
"Keberadaan tax havens tidak ada untungnya bagi kesejahteraan secara global, mereka malahan tidak memiliki tujuan penting untuk ekonomi sama sekali," tulis kesepakatan itu.
Sementara itu, sang peretas, John Doe mengeluarkan pernyataan sepanjang 1.800 kata tentang motif dibocorkannya dokumen itu. Inti dari surat tersebut adalah 'kesenjangan pendapatan'.
"Bank-bank, perangkat keuangan, dan otoritas pajak telah gagal. Keputusan telah dibuat dengan menyebarkan keuangan para orang tajir...," tulis John Doe.
Doe mengatakan ia tak bekerja untuk agen mata-mata atau pemerintah dan menawarkan kepada otoritas hukum untuk melanjutkan kasus itu, dan imbalannya adalah impunitas baginya jika terungkap.
Kendati inisial John Doe -- bukan Jane Doe, misalnya -- yang digunakan, gender dari sang pembocor tidak terkuak. Entah ia sejatinya pria atau wanita.