Liputan6.com, Jenewa - Untuk pertama kalinya, pada Senin lalu, lembaga PBB bidang kesehatan atau World Health Organization (WHO) menerbitkan panduan bagi para pekerja bidang medis tentang cara menangani para korban mutilasi kelamin wanita (female genital mutilation, FGM). Di Indonesia, kerap disebut sunat pada perempuan.Â
Dikutip dari The Local pada Rabu (18/5/2016), WHOÂ menyebutkan ada sekitar 200 juta wanita dan anak perempuan yang menjadi korban mutilasi vagina di seluruh dunia.Â
Baca Juga
Para korban dibiarkan menghadapi segala akibat tindakan tersebut, antara lain pendarahan dan perih sewaktu buang air kecil, ketidaknyamanan saat berhubungan seks, komplikasi fatal saat melahirkan dan trauma psikologis yang mendalam.
Advertisement
Mutilasi vagina paling banyak terjadi di Afrika dan menjadi praktik di kira-kiar 30 negara, walaupun sudah meluasnya kriminalisasi tindakan tersebut. Praktik serupa ada di sejumlah kantong wilayah di Asia dan Timur Tengah.
Menurut WHO, para dokter di wilayah-wilayah tersebut tercatat tidak memiliki kemampuan memadai tentang perawatan korban. Namun, migrasi global telah membawa masalah itu ke Barat, yang dokter-dokternya juga tidak mengetahui caranya memberikan bantuan kepada korban.
"Para pekerja bidang kesehatan terkadang tidak menyadari banyaknya akibat negatif FGM pada kesehatan dan masih belum terlatih secara cukup untuk mengenali dan menangani dengan selayaknya," demikian menurut pernyataan WHO.Â
Lale Say, seorang spesialis populasi berisiko di WHO menegaskan bahwa lebih dari 500 ribu wanita dan anak perempuan di AS menderita atau menghadapi ancaman FGM. Sekitar 66 ribu lagi di Inggris juga dikenai praktik itu.
Doris Chou, spesialis kesehatan ibu dan pra-kelahiran WHO, mengatakan sejumlah dokter, termasuk di Barat, bahkan "tidak tahu apa yang sedang mereka lihat" ketika dihadapkan kepada korban mutilasi kelamin. Padahal, kurangnya kemampuan tidak memungkinkan perawatan yang optimal.
Karena kurangnya data, tidak gampang mengembangkan panduan perawatan ini, kata para pakar WHO.Â
Panduan itu menyerukan agar para korban FGM mendapatkan, jika perlu, dukungan psikologis dan anjuran terkait dengan kebidanan.
Salah satu akibat FGM adalah penutupan vagina sehingga bisa menyebabkan matinya bayi pada saat kelahiran karena 'tersangkut' dalam saluran kelahiran, demikian dijelaskan oleh Chou.
WHO menganjurkan agar para pekerja kesehatan melakukan deinfibulasi, yaitu suatu prosedur bedah untuk membuka lagi vagina supaya memungkinkan kelahiran anak.