Sukses

'Prenjak' Ukir Sejarah Perdana Film RI Menang di Cannes

Film Prenjak (In the Year of Monkey) karya sutradara dari Yogyakarta, Wregas Bhanuteja, terpilih sebagai film pendek terbaik di Cannes.

Liputan6.com, Jakarta - Film Prenjak (In the Year of Monkey) karya sutradara dari Yogyakarta, Wregas Bhanuteja, terpilih sebagai film pendek terbaik di Festival Film Cannes, Semaine de la Critique 2016. Pencapaian ini merupakan yang pertama dalam sejarah di kelasnya.

Tim Prenjak' yang datang di Cannes, Prancis, ada lima orang, termasuk sutradara dan penulis cerita Wregas Bhanuteja. Mereka sontak melonjak dan berpelukan ketika pembawa acara mengumumkan kemenangan mereka.

"Sungguh tak disangka. Saya merasa bahwa ini adalah energi yang sangat besar sekali bagi saya. Saya berharap agar api ini tetap menyala. Dan ketika saya pulang ke Indonesia, saya akan mulai membuat film lagi dan lagi," kata Wregas kepada BBC Indonesia yang dikutip Jumat (20/5/2016).

Prenjak memenangi Le Prix Découverte Leica Cine untuk film pendek terbaik yang dipilih dari 10 film yang diputar dalam kompertisi. Ke-10 finalis itu disaring dari 1.500 film pendek yang dikirim ke panitia festival.

Direktur Artistik, Charles Tesson, memuji Prenjak sedari awal.

"Sebuah film dengan kedalaman puitis yang mengejutkan. Prenjak karya Wregas Bhanuteja, adalah film yang kelam dan bengal, tentang bagaimana mencari nafkah itu sama harganya dengan sekadar permainan korek api," puji Charles Tesson.

Dalam film tersebut terdapat puisi gelap dan nakal. Lebih dari itu: kurang ajar, yang dimaksudkan, adalah kisah yang bertumpu pada Diah (Rosa Sinegar) seorang gadis di sebuah desa, yang dalam putus asa, menawarkan kepada Jarwo (Yohanes Budyambara), korek api seharga Rp 10.000 per batang, untuk dinyalakan dan digunakan mengintip vaginanya.

Film sepanjang 12 menit ini adalah film ketiga Wregas yang berlaga di festival internasional, setelah Lembusura di Festival Film Berlin 2015 dan Floating Chopin di Hong Kong Film Festival 2016.

Prenjak mengalahkan sembilan film unggulan lain, yaitu Arnie karya Rina B Tsou (Taiwan - Filipina), Ascensão (Pedro Peralta, Portugal), Campo de víboras (Cristèle Alves Meira, Portugal), Delusion Is Redemption to Those in Distress (O Delírio é redenção dos aflitos, Fellipe Fernandes, Brasil), L’Enfance d’un chef (Antoine de Bary, Prancis), Limbo (Konstantina Kotzamani, Yunani) Oh what a wonderful feeling (François Jaros, KCanada), Le Soldat vierge (Erwan Le Duc, Prancis), dan Superbia (Luca Tóth, Hungaria).

La Semaine de La Critique atau Pekan Kritikus adalah salah satu festival independen terpenting yang diselenggarakan berbarengan dengan Festival Cannes pada setiap bulan Mei. Film Indonesia yang pernah dipilih di sini adalah Tjut Nja' Dhien (Eros Djarot, 1989) dan Fox Exploits Tigers Might (Lucky Kuswandy, 2014).

Satunya lagi adalah Quinzaine des Realisateurs atau Directors Fortnight.

Pekan Kritikus itu mulai diselenggarakan tahun 1962 oleh serikat kritikus dan jurnalis Prancis, yang menganggap Festival Cannes sudah terlalu mapan dan berorientasi hanya pada nama-nama besar dan sudah mengabaikan pencapaian artistik. Beberapa tahun kemudian langkah ini diikuti oleh serikat sutradara Prancis yang menyelenggarakan Quinzaine des Realisateurs.

Kedua festival independen ini didedikasikan pada karya-karya inovatif, diselenggarakan berbarengan dengan dan bahkan cenderung diintegrasikan dengan Festival Film Internasional Cannes. Film-film yang berkompetisi di La Semaine dan Quinzaine juga berkompetisi untuk kategori-kategori tertentu Festival Cannes, seperti Camera d'or untuk film pertama terbaik.