Liputan6.com, Taipei - Wayang potehi merupakan seni pertunjukan boneka tradisional asal China. Potehi berasal dari kata 'pou' atau kain, 'te' atau kantong, dan 'hi' atau wayang. Secara harfiah, kata tersebut bermakna wayang yang dibuat dari kantong kain.
Wayang potehi, dimainkan dengan menggunakan lima jari, tiga jari di tengah mengendalikan kepala, sementara ibu jari dan kelingking mengendalikan tangan boneka.
Walaupun budaya Tionghoa ini sudah masuk ke Indonesia sejak lama, namun tidak banyak warga peranakan yang bisa memainkan pertunjukan wayang tradisional itu.
Advertisement
Baca Juga
Salah satu dari sedikit orang yang bisa memainkannya adalah Yek Sansan.
Yek Sansan adalah seorang pemain wayang potehi sukses asal Indonesia. Ia keturunan Hakka di Kota Singkawang, Kalimantan dan kini menetap bersama suaminya di Taiwan.
Saat pertama kali menginjakkan kakinya di Taiwan, bersama suaminya, Sansan merasa sedikit kewalahan mempelajari budaya dan bahasa kampung halaman suaminya.
Walupun begitu, Sansan sering mendapatkan pujian dari tetangganya, mengatakan dia adalah istri yang baik, rajin, dan suka membatu suami di ladang dan melakukan pertunjukan wayang potehi.
Wayang potehi merupakan salah satu pertunjukan tradisional paling penting di Taiwan, menghubungkan rakyat dengan kepercayaan dan agama.
Suami Yek Sansan, Chen Chih-neng, memiliki kelompok wayang potehi yang sering tampil dari panggung ke panggung, saat festival, dan perayaan di kelenteng.
Sansan kemudian dilatih oleh suaminya untuk mendalangi wayang potehi. Ia mengaku memang awalnya sulit, namun Sansan tidak menyerah dan kini ia bisa mendampingi suaminya di atas panggung.
Panggung yang mereka miliki adalah sebuah mobil truk yang disulap menjadi panggung wayang, sekaligus alat transportasi mereka.
Sebelum memulai pertunjukan, Sansan dan Chen terlebih dulu harus melakukan penyembahan dengan membakar dupa dan uang kertas. Hal tersebut bertujuan untuk menunjukkan rasa hormat mereka kepada Dewa.
"Aku selalu ingat ketika pertama kalinya berperan dalam wayang. Aku berperan sebagai Dewa," kata Sansan.
Setiap kali ada pementasan, Sansan pasti selalu membuka kembali catatannya yang ditulis dalam bahasa Indonesia, untuk memastikan urutan tampilnya. Dia juga akan mempersiapkan semua boneka.
Wanita 34 tahun itu juga menjelaskan, ada cara yang berbeda untuk memainkan boneka pria dan wanita. Potehi wanita harus melangkah dengan pelan dan lembut, sedangkan potehi pria harus berjalan dengan cepat dan gagah.
"butuh waktu bertahun-tahun untuk bisa menjadi seperti sekarang. Dulu aku bahkan tidak bisa memegang satu boneka. Sekarang aku bisa memegang tiga boneka dengan tanganku," kata Sansan.
Kehidupan Keras Sebelum Jadi Dalang Wayang Potehi
Dikutip dari majalah Taiwan Panorama yang Liputan6.com muat Sabtu (20/5/2016), wanita berusia 34 tahun itu, menceritakan pertama kali menginjakkan kakinya di Taiwan pada tahun 2000.
Sebelum berangkat, Yek Sansan yang masih berumur 19 tahun, diminta oleh ibunya untuk menikah dengan Chen Chih-neng, agar terhindar dari bahaya yang pada tahun itu mengancam peranakan Tiongkok di Indonesia.
Tahun-tahun pertama pernikahannya dengan Chen tidak seindah dan semulus yang dibayangkan Sansan. Selain tidak begitu mengerti dengan bahasa Taiwan dan Mandarin, suaminya ternyata juga merupakan seorang pemabuk dan pemalas.
"Aku baru tahu suamiku adalah pimpinan kelompok wayang potehi. Aku belum pernah melihat wayang jenis ini sebelumnya di Indonesia," kata Sansan.
Sansan terpaksa harus membanting tulang untuk menghidupi anak dan suaminya. Kehidupan mereka mulai berangsur membaik sejak suaminya yang juga merupakan pemain wayang potehi, berhenti minum-minuman keras dan fokus bekerja.
Kini, 15 tahun sudah berlalu dan Yek Sansan sudah terbiasa dan membaur dengan kehidupan dan budaya Taiwan.
Dia menikmati kehidupannya sebagai pekerja ladang dan dalang wayang potehi bersama dengan suaminya.
Advertisement