Sukses

Presiden AS Ini Hidup dengan Peluru di Dada Selama 40 Tahun

Sebagai Presiden ke-7 AS, Andrew Jackson memiliki sejumlah catatan menarik baik dalam kehidupan pribadi maupun karier politiknya.

Liputan6.com, Washington, DC - Terlahir dalam keluarga miskin di wilayah Waxhaws -- perbatasan North dan South Carolina-- pada 15 Maret 1767, Andrew Jackson kelak menjadi salah satu orang paling penting sepanjang sejarah Amerika Serikat (AS).

Pendiri Partai Demokrat yang juga Presiden AS ke-7 itu memiliki sejumlah catatan menarik, baik dalam kehidupan pribadi maupun karier politiknya.

Terdapat satu babak dalam kehidupan Jackson yang mungkin dilewatkan sebagian orang. Pada tanggal 30 Mei 1806, ia pernah berduel dengan Charles Dickinson -- perkelahian itu berakhir dengan tewasnya Dickinson dan sebuah peluru bersarang di dada Jackson.

 



Peristiwa itu diawali dengan tudingan Dickinson bahwa Jackson berlaku curang dalam taruhan pacuan kuda -- keduanya diketahui sama-sama peternak kuda dan saling bersaing. Ia menyebut Jackson pengecut dan seorang equivocator -- orang yang berbicara ambigu.

Tak hanya itu, Dickinson juga menyebut Rachel -- istri Jackson adalah perempuan bersuami dua. Rachel memang pernah menikah sebelumnya dan pernikahan pertamanya itu tidak jelas akhirnya karena mantan suaminya disebut gagal menyelesaikan perkara cerai mereka. Demikian seperti dikutip dari History, Kamis (26/5/2016).

Dalam pernyataan Dickinson yang dipublikasi di National Review, pria itu kembali menyenggol Jackson -- memanggilnya dengan panggilan 'bajingan tak berharga' dan pengecut. Jackson yang dikenal sebagai sosok argumentatif, senang kekerasan fisik, dan gemar berduel itu pun menantang Dickinson berkelahi.

Keduanya bertemu di Harrison's Mills di Red River, Logan, Kentucky. Dalam duel kali itu, tembakan yang dilepaskan Dickinson mengenai dada kanan Jackson dan bersarang di sana selama 40 tahun.

Sementara tembakan pertama Jackson disebut meleset, namun lawannya itu dikabarkan terbunuh dalam tembakan kedua. Dengan alasan dapat membahayakan nyawanya, maka peluru yang bersarang di dada Jackson tidak dapat dikeluarkan. Pelor itu pun berdiam di tubuhnya hingga akhir hayat.

Jackson yang saat itu sudah mendapatkan kursi di Senat Tennessee dan memiliki firma hukum, diperkirakan sudah terlibat dalam 100 kali duel.

Namun, ia tidak dituntut atas tewasnya Dickinson dan duel itu sendiri berdampak kecil pada kampanyenya dalam pemilu presiden 1829 -- pada awal 1800-an, pria di AS terutama bagian selatan melihat duel sebagai tradisi terhormat.

Tuduhan Dickinson atas Rachel yang 'bersuami dua' bahkan jauh lebih banyak diperbincangkan dibanding kematian tragisnya.

Berkarier di Dunia Hukum, Militer, Hingga Jadi Presiden

Ilustrasi Perang AS-Inggris (wikipedia)

Jackson mulai membaca buku-buku hukum sejak remaja. Ia pindah dari Appalachian ke wilayah yang sekarang bernama Tennessee -- di mana ia menjadi jaksa di pemukiman yang kini bernama Nashville.

Tak lama, ia pun mendirikan praktik sendiri. Ia bertemu dan menikah dengan Rachel (Donelson) Robards, putri seorang kolonel lokal.

Hidup Jackson berkecukupan, ia membangun rumah dan membeli budak. Pada 1796, Jackson bergabung dengan konvensi yang mendirikan Negara Bagian Tennessee -- ia adalah orang pertama yang terpilih menduduki DPR AS dari Tennessee.

Meski menolak ikut pemilu kembali dan memutuskan pulang ke rumah pada Maret 1797, ia terpilih menjadi anggota Senat AS. Jackson mengundurkan diri setahun kemudian, namun tak lama ia terpilih sebagai hakim pengadilan tinggi Tennessee.

Pada tahun 1812, Jackson mulai mendapat panggung baik di dunia hukum maupun militer. Masa itu sosoknya dikenal sebagai pengacara kaya dan politisi muda yang tengah naik daun, sementara ia juga terlibat dalam perang AS versus Inggris.

Menjabat sebagai mayor jenderal, Jackson kala itu ditugaskan melakukan kampanye lima bulan melawan sekutu Inggris, bangsa Creek -- salah satu suku Indian. Dalam pertempuran Tohopeka di Alabama pada pertengahan 1814, kampanye berakhir dengan kemenangan di pihak AS.

Satu tahun berikutnya, tepatnya Januari 1815 pertempuran New Orlens yang dipimpin Jackson juga berakhir dengan kemenangan. Capaian kemenangan demi kemenangan itu telah membuatnya meraih gelar pahlawan perang nasional meski Perjanjian Ghent -- perjanjian perdamaian mengakhiri perang 1812 antara AS dan Inggris -- belum ditandatangani.

Jackson memang memiliki dendam pribadi terhadap Inggris menyusul tewasnya sang ibu dalam sebuah invasi yang dilakukan Britania Raya di Carolinas pada 1780-1781.

Pada tahu 1817, ketika Jackson menjabat sebagai Komandan Distrik Selatan, ia memerintahkan invasi atas Florida. Pasukannya dilaporkan berhasil merebut pos tentara Spanyol di St. Mark dan Pensacola -- ia mengklaim tanah tersebut milik AS.

Tindakannya itu diprotes keras oleh Spanyol dan memicu perdebatan sengit di Washington. Namun meski mendapat banyak kecaman, ia didukung oleh Menteri Luar Negeri AS, John Quincy Adams -- akuisisi AS atas Florida pun dilakukan pada 1821.

Kepemimpinannya dalam peperangan tak hanya mengharumkan namanya sebagai pahlawan, namun juga menjadikannya sosok paling berpengaruh dan politisi paling bersinar sepanjang tahun 1820 - 1830-an.

Popularitasnya yang kian menanjak membuat ia disarankan untuk maju mencalonkan diri sebagai presiden. Awalnya, ia mengaku tidak tertarik duduk di pemerintahan, namun 1.824 petisi yang dikumpulkan pendukungnya cukup membuat ia menjadi nominasi calon presiden. Jackson memenangkan voting, namun untuk pertama kalinya dalam sejarah tidak ada kandidat yang mendapat suara mayoritas.  

DPR kala itu memutuskan untuk memilih tiga kandidat populer, yakni Jackson, Adams dan Menteri Keuangan William H. Crawford. Terkena stroke, Crawford dinyatakan keluar dari pemilihan dan Ketua DPR Henry Clay menyatakan dukungannya atas Adams -- memicu tuduhan adanya skandal antara keduanya karena belakangan Adams mengangkat Clay sebagai Menteri Luar Negeri. Peristiwa itu, membuat Jackson menyatakan mundur dari Senat.

Setelah mengalami kekalahan kontroversial pada Pilpres 1824, empat tahun kemudian ia berhasil menang atas Adams -- membuatnya menjadi presiden ke-7 AS periode 1829-1837. Sistem politik yang terus berkembang di AS menjadikan ia pemimpin Partai Demokrat.

Ia mendukung hak-hak negara dan perluasan perbudakan ke wilayah Barat baru, ia menentang Partai Whig dan Kongres dalam polarisasi isu seperti Bank AS. Dalam beberapa hal, peninggalan kebijakannya ternodai oleh relokasi paksa suku asli Amerika yang hidup di bagian timur Mississippi.

Andrew Jackson dan Gedung Putih
Penampakan Gedung Putih pada tahun 1860 (whitehousemuseum.org).

Pernikahan Jackson dan Rachel tidak membuahkan seorang anak, namun pasangan ini dekat dengan sejumlah keponakan mereka.

Ketika Rachel meninggal pada 1828, ponakannya Emily Donelson menjalankan tugas sebagai 'nyonya rumah' di Gedung Putih. Naiknya Jackson ke tampuk kekuasaan, menandai titik balik dalam politik AS di mana pusat kekuasaan politik bergeser dari Timur ke Barat.

Jackson yang dijuluki 'Old Hickory' digambarkan sebagai pribadi yang teguh, bagi pendukungnya, Pro-Jacksonites ia memicu didirikannya Partai Demokrat. Sementara sikap keras tanpa komprominya telah membuat lawan politiknya melahirkan Partai Whig.

Sosok Presiden ke-7 AS itu disebut-sebut sebagai penguasa mutlak pemerintahannya, ia enggan tunduk pada Kongres bahkan tak ragu untuk menggunakan hak veto presiden. Sejumlah persoalan menyita perhatian sepanjang ia memimpin AS, mulai dari pertempuran di South Carolina hingga klaim jutaan hektare tanah oleh Georgia. Relokasi yang terjadi di Arkansas juga menodai kebijakannya dimana ribuan orang dilaporkan tewas.

Dalam pemilu 1836, Martin Van Buren yang berhasil mengalahkan capres dari Partai Whig William Henry Harrison mengambil alih Gedung Putih. 'Old Hickory' pun memilih menikmati hari tuanya di Hermitage -- di mana ia tutup usia pada Juni 1845.