Sukses

Bom Atom Hiroshima, Obama, dan Derita Gadis Sadako

Kunjungan Barack Obama ke Jepang membangkitkan emosi dua negara. Ia akan menjejakkan kaki di Hiroshima.

Liputan6.com, Tokyo - Kunjungan Barack Obama ke Jepang membangkitkan emosi dua negara. Presiden Amerika Serikat tersebut akan mengunjungi Hiroshima, kota yang pernah luluh lantak akibat bom atom yang dijatuhkan AS pada penghujung Perang Dunia II.

Obama akan menginjakkan kaki di Hiroshima pada Jumat 27 Mei 2016. Ada dua tujuan yang ingin diraihnya, menghormati jiwa-jiwa yang melayang akibat tragedi itu, dan untuk mengingatkan dunia: jangan melakukan kesalahan yang sama.

Bom atom dijatuhkan di masa pemerintahan Presiden AS Harry Truman pada 1945. Namun, Obama tak akan minta maaf atas keputusan pendahulunya itu.


Kala itu setelah Jerman ditaklukkan dalam Perang Dunia II, Amerika Serikat mendesak Jepang agar menyerah, tapi Jepang menolak.

Pada musim panas 1945, Amerika dihadapkan pada proyeksi mengerikan, ratusan ribu orang akan tewas di kedua belah pihak jika invasi atas Jepang dilakukan.

Pemboman atas Dresden, Jerman pada awal 1945 menewaskan lebih dari 100 ribu jiwa, sementara serangan udara atas Tokyo menyudahi 135 ribu nyawa.

Penggunaan senjata baru, bom atom, juga mengakibatkan kematian massal yang mengerikan, lebih dari 146 ribu orang di Hiroshima dan lebih dari 80 ribu manusia di Nagasaki.

 

Gambar menunjukkan reruntuhan Sekolah Nasional Shiroyama (atas), Jepang  pada oktober 1945 yang hancur oleh bom atom Nagasaki pada 9 Agustus 1945 di Jepang. (REUTERS/Shigeo Hayashi/Nagasaki Atomic Bomb Museum /Handout via Reuters /Issei Kato)



Apapun, keputusan Truman mengakhiri perang mengejutkan dunia dan mengubah lanskap politik dan militer global.

"Keputusan tersebut sangat signifikan dalam sejarah. Dijatuhkannya bom atom adalah salah satu peristiwa terbesar pada Abad ke-20," kata Kurt Graham, Direktur Truman Library, seperti dikutip dari The Examiner, Jumat (27/5/2016).

AS tak pernah minta maaf atas pemboman Hiroshima dan Nagasaki.

Demikian juga dengan keluarga Truman -- meski cucu tertua sang presiden, Clifton Truman Daniel telah mengunjungi Hiroshima dan melakukan upaya rekonsiliasi. Ia juga menerima bangau kertas, yang dilipat oleh Sadako Sasaki.

 

Sadako Sasaki


Sadako baru berusia 2 tahun saat bom atom jatuh ke Hiroshima. Gadis itu meninggal dunia 10 tahun kemudian akibat leukemia  -- salah satu efek samping tragedi tersebut. Bangau kertas itu diserahkan sang kakak, Masahiro Sasaki.

Derita Sadako semakin menggarisbawahi horor yang diakibatkan ledakan bom atom.

2 dari 2 halaman

Kisah Sadako dan 1.000 Bangau Kertas

Kisah Sadako dan 1.000 Bangau Kertas

Sadako Sasaki meninggal dunia pada usia 12,5 tahun pada pagi yang kelabu, 25 Oktober 1955.

Penderitaan gadis kecil itu berawal dari sebuah tragedi besar yang mengguncang dunia. Malapetaka yang dipicu manusia: perang. Kala itu, 6 Agustus 1945, Amerika Serikat menjatuhkan bom atom 'Little Boy' di Hiroshima, Jepang dan membunuh 140.000 orang yang ada di kota itu.

Awan yang terbentuk jamur akibat ledakan bom atom di Hiroshima pada 1945 (Foto: osti.gov)


Sadako yang masih berusia 2 tahun berada dalam jarak 1 mil dari titik jatuhnya bom di dekat Jembatan Misasa. Ia dan seluruh keluarganya berhasil lari, meski sang nenek yang kembali ke rumah untuk mengambil barang yang tertinggal, tak pernah diketahui nasibnya.

Perang pun berakhir dan Jepang berupaya pulih, saat itulah Sadako menjalani masa kecil yang relatif normal meski serba kekurangan. Ia seorang gadis yang ceria juga pelari unggul. Berkat kemampuannya itu, kelasnya langganan juara lari estafet.

Suatu hari, di tengah perlombaan, Sadako terjatuh. Usianya saat itu 11 tahun, namun hari demi hari tubuhnya makin lunglai. Pada November 1954, leher dan bagian belakang telinga Sadako membengkak. Dua bulan kemudian bercak ungu bermunculan di kedua kakinya.

Sadako dilarikan ke rumah sakit pada Februari 1955. Dokter mendiagnosis, ia sakit leukemia, 'penyakitnya para korban bom atom'. Kanker darah yang diderita banyak anak yang terkena radiasi. Orangtuanya diberi tahu bahwa putri kesayangan mereka hanya punya waktu kurang dari setahun.

"Aku dan suamiku menangis di dekat Sadako yang sedang tertidur tenang," demikian isi surat yang ditulis sang ibu, Fujiko Sasaki pada 1956 seperti dimuat situs The Global Human. Seandainya ada yang bisa dilakukan untuk menyelamatkannya dari penyakit akibat bom atom. "Jika di dunia ada obat untuk menyembuhkan penyakitnya, aku akan pinjam uang, 10 juta yen sekalipun. Atau, jika mungkin, biarkan aku mati untuknya...."

 

Sadako Sasaki


Suatu hari, seorang sahabat Sadako, Chizuko Hamamoto datang menjenguk. Ia bercerita tentang sebuah legenda Jepang. Konon, seseorang yang bisa melipat 1000 bangau kertas, akan dikabulkan permintaannya. Bangau adalah simbol panjang umur.

Sadako tak punya kertas lipat. Harganya sangat mahal saat itu. Jadi, ia menggunakan apapun, koran, bungkus obat, juga kertas pelapis bingkisan semoga cepat sembuh. Ia melipat dan terus melipat, sebagai bentuk pengharapan atau sebaliknya, pelarian atas deritanya.

Video Terkini