Liputan6.com, Los Angeles - Serangan itu berlangsung tiba-tiba. Youssif baru berusia 5 tahun saat seorang pria bertopeng menyiramkan bensin ke tubuh mungilnya, lalu menyulut api. Kala itu bocah malang tersebut sedang bermain di muka rumahnya di Baghdad, Irak. Â
Nyawa Youssif selamat, namun tubuhnya mengalami luka bakar parah.
"Wajahnya mengeras, dipenuhi parut. Luka parah membuatnya tak bisa membuka mulut -- untuk makan sekalipun," demikian ditulis wartawan CNN, Arwa Damon, seperti dikutip pada Sabtu (28/5/2016).
Baca Juga
"Saya masih ingat ekspresi kemarahan dalam dirinya, yang kelewat mendalam untuk seorang anak kecil. Orangtuanya kebingungan. Satu-satunya harapan mereka adalah agar putra mereka yang dulu kembali -- untuk mendengar tawanya."
Kisah tragisnya mengguncang dunia, menerbitkan kepedulian banyak orang dari berbagai latar belakang agama, etnis, juga ras.
Â
Advertisement
Lembaga Children's Burn Foundation menawarkan bantuan. Sementara, penonton CNN mendonasikan ratusan ribu dolar untuk menolong Youssif dan menerbangkannya ke Amerika Serikat untuk mendapatkan perawatan.
Tawa Youssif kala itu menjadi penghibur lara orangtuanya. Bocah itu kesenangan saat melihat laut, yang untuk kali pertama ia saksikan.
Sang ibu, Zaineb terharu dan mengeluarkan air mata saat sekelompok jemaat gereja meminta izin, untuk mendoakan Youssif. Meski menjejakkan kaki di negeri asing, mereka merasa diterima.
Selama bertahun-tahun kemudian, Youssif menjalani banyak operasi. Masih banyak lagi prosedur yang ia jalani pada masa depan.
Namun, ia seperti halnya remaja lain -- tergila-gila pada sepak bola, punya banyak sahabat, dan senang belajar matematika dan sains.
Ia bercita-cita jadi dokter, untuk membantu sesama. Seperti halnya para dokter yang mengobati lukanya -- fisik juga jiwa.
"Dokter yang merawatku membantuku, dan itu membuatku ingin membantu sesama. Ia bagaikan teladan bagiku," kata Youssif.
Seandainya Masih di Irak...
Youssif tak lagi ingat serangan yang membuatnya mengalami trauma berat. Kenangan atas kotanya, Baghdad juga kian memudar. Saat berbincang lewat telepon dengan sang kakek, pembicaraan mereka fokus soal keluarga, bukan kondisi keamanan di ibukota Irak itu.
Namun, orangtuanya, kerinduan untuk tanah air sangat nyata meski keduanya sadar -- mereka mungkin tak akan pernah pulang.
Sang ayah, Wissam prihatin bukan kepalang saat mendengar adik perempuannya menderita kanker. Sementara, ayah Zaineb meninggal dunia dua tahun lalu.
Sudah 9 tahun mereka meninggalkan kampung halaman.
Â
"Kehidupan sungguh mengerikan di sana. Keluarga saya mengatakan, jangan pernah berpikir untuk mengunjungi mereka. Saya bahkan tak tahu bagaimana mereka bisa bertahan hidup di sana," kata Wissam.
Pria itu sengaja tak menonton televisi atau membaca koran, mencari tahu apa yang terjadi di Irak. "Karena apapun yang saya lihat adalah kesedihan."
Youssif mengerti benar, apapun yang telah terjadi, ia termasuk beruntung.
Dia terus mengikuti berita dari Irak tentang ISIS dan krisis pengungsi. Jika masih di negaranya, bukan tak mungkin ia akan berakhir di Laut Mediterania -- seperti para bocah yang karam.
Wissam menjelaskan, kehidupan yang sungguh berbeda pasti dialami anaknya jika mereka tetap tinggal di Irak.
"Dia mungkin tak bakal sanggup keluar rumah karena wajahnya itu," kata dia. "Tapi, lihat anakku saat ini, ia bahagia, punya banyak teman, dan dengan semua operasi yang dialaminya, semua jauh lebih baik saat ini."
Kekuatan Kasih Sayang
Meski demikian tak mudah bagi keluarga tersebut untuk hidup sebagai pengungsi di AS.
Wissam bekerja paruh waktu dan terus berupaya mendapatkan kerja tambahan -- namun selalu gagal.
Ia dan istrinya sedang mempertimbangkan untuk pindah ke bagian yang lebih murah di Los Angeles, tapi Wissam khawatir tentang dampak itu pada Youssif -- yang saat ini dekat dengan dokter serta tinggal di komunitas yang ia kenal dan mendukungnya.
Semua perabot dan mainan di rumah mereka kebanyakan adalah sumbangan. Mereka berlima: Wissam, istrinya, Youssif, Aya, dan Mustafa -- yang lahir di AS -- berbagi satu kamar.
Namun, keterbatasan tak membuat anak-anak tersebut minder.
Youssif mengisahkan tentang projek di kelasnya, di mana ia menemukan pahlawan super pilihannya: Superman.
"Semua anak harus memilih satu superhero," kata dia dalam Bahasa Inggris sempurna. "Aku tergila-gila pada Superman setelah menonton filmnya."
Seperti halnya para superhero yang tak jarang harus menyembunyikan identitasnya, Youssif juga berjuang untuk bisa diterima.
Untungnya, itu tak lagi sulit. "Semua orang baik kepada saya di sekolah. Beberapa dari mereka bahkan memperlakukanku seperti saudara," kata dia.
Youssif berhasil selamat atas bantuan orang-orang tak dikenal yang mengulurkan tangan dalam inisiatif Impact Your World yang digagas CNN.
"Youssif terus mengingatkan kita tentang pentingnya kebaikan. Dalam dunia di mana rasa takut pada 'yang lain' tumbuh, di mana barikade dan penolakan yang merujuk pada narasi dari organisasi teroris kian kuat, ia adalah pengingat dari kekuatan transformatif kasih sayang," kata Arwa Damon, menutup tulisannya.