Liputan6.com, Roma - Kisah pilu para imigran, pencari suaka ke Eropa terus berlanjut. Kebanyakan kapal atau perahu yang mereka tumpangi tak mengantar mereka sampai ke tujuan, melainkan tenggelam di lautan.
Kadang karena kelebihan muatan, namun sebagian tak kuat menghadapi ganasnya kondisi laut lepas.
Dalam tiga hari terakhir, sebanyak tiga kapal yang membawa migran dilaporkan tenggelam di Laut Mediterania.
Baca Juga
Perahu pertama yang membawa sekitar 562 migran tenggelam pada Rabu 25 Mei lalu. Pada hari yang sama sekitar 4.000 migran berhasil diselamatkan. Demikian seperti dikutip The Washington Post, Senin (30/5/2016).
Advertisement
Â
Baca Juga
Di hari berikutnya, sebuah kapal kecil yang memuat ratusan orang juga dilaporkan tenggelam sementara satu perahu lainnya juga mengalami nasib serupa pada Jumat 27 Mei lalu.
Tenggelamnya tiga kapal sepanjang beberapa hari terakhir telah meningkatkan kengerian akan krisis pengungsi yang terus berlayar menuju Eropa. Badan Pengungsi PBB mencatat, setidaknya terdapat kurang lebih 700 orang dalam tiga kapal yang tenggelam di Laut Mediterania itu -- menambah jumlah korban tenggelam di laut ini menjadi 2.000 orang.
Jumlah tersebut belum terkonfirmasi secara resmi, namun diperkirakan korban tewas lebih dari 700 orang.
Pada musim panas, langit biru menghiasi Laut Mediterania, cuacanya pun cukup hangat dengan kondisi perairan yang cukup tenang. Bagi turis ini adalah kondisi tepat untuk berlayar, begitu juga bagi sindikat perdagangan manusia di sepanjang pantai Afrika Utara -- di mana aktivitas mereka akan meningkat.
Kondisi yang sama dimanfaatkan pula oleh sindikat penyelundup manusia di Libya untuk meraih untung. Mereka akan mengirim kapal laut berisi migran ke Italia, sering kali kapal yang digunakan bahkan tak layak untuk mengarungi laut lepas.
Penjaga pantai dan Angkatan Laut Italia kerap mendapat panggilan darurat terkait kondisi membahayakan atas kapal yang ditumpangi imigran.
Tahun 2015 lalu, tercatat sekitar 3.700 imigran dilaporkan tenggelam di Laut Mediterania.
Badan PBB untuk Anak dalam pernyataannya menyebutkan, rata-rata migran yang tenggelam dalam sepekan terakhir diyakini sebagai remaja yang berlayar tanpa ditemani orangtua atau kerabat. Peristiwa ini membuat dunia menyoroti kembali kebijakan Uni Eropa dalam menghadapi krisis migran.
Kesepakatan Kontroversial antara UE - Turki
Pemimpin Uni Eropa sejauh ini sudah menandatangi kesepakatan 'kontroversial' dengan Turki, berisi semua pengungsi Suriah yang berhasil mendarat di Yunani akan ditempatkan di Turki jika tak mengajukan permohonan suaka atau permohonan suaka mereka ditolak.
Kesepakatan barter itu juga berisi pertukaran imigran antara Uni Eropa dan Suriah. Setiap ada imigran Suriah yang dikirim ke Turki, maka yang telah berada lebih dulu di sana akan ditransfer ke Uni Eropa.
Kesepakatan itu sendiri diklaim berhasil menurunkan gelombang migrasi ke Yunani. Tahun 2015 lalu, sekitar 1 juta orang dikabarkan berusaha mencapai Jerman melalui Balkan.
Dilema lain muncul atas kebijakan itu, ketika rute menuju Yunani ditutup maka para migran harus menempuh rute yang lebih berbahaya lagi, yakni Libya ke Italia. Sebagaimana pada Rabu 25 Mei lalu dilaporkan, sebanyak 41.000 pengungsi yang berangkat dari Libya dan terombang-ambing di laut berhasil diselamatkan.
Laporan ini menunjukkan terjadinya peningkatan 'lalu-lintas' migran yang cukup signifikan. Â
"Ini adalah minggu yang sangat intens dan luar biasa jika kita bicara soal jumlah korban jiwa," kata Juru Bicara Komisi Tinggi PBB untuk Pengungsi, Federico Fossi.
Fossi juga memperingatkan bahwa jumlah korban tewas kemungkinan bertambah.
"Dan pasti banyak dari para korban adalah perempuan dan anak-anak, seperti biasa," tambahnya.
Sebagian besar migran yang berusaha menuju Italia dilaporkan berasal dari negara-negara Afrika seperti Eritrea, Gambia, Ghana dan Nigeria. Sementara itu, sejumlah negara konflik seperti Suriah, Afghanistan, dan Irak juga ikut menyumbang jumlah migran, mereka melakukan perjalanan ke Yunani melalui Turki.
Belum lama ini Paus Francis di Vatikan mengatakan bahwa migran tidak berbahaya.
"Migran tidak bahaya - justru mereka tengah berada dalam bahaya," kata Francis.