Liputan6.com, Mumbai - Pegiat hak-hak wanita di negara bagian Maharashtra, India, meminta polisi mengambil tindakan setelah mendengar kabar perceraian pasangan pengantin baru, hanya dengan alasan sang istri tidak lulus 'uji keperawanan'.
Ketua komisi, Vijaya Rahatkar, mengatakan ia telah meminta pimpinan kepolisian untuk melakukan penyidikan mendalam terhadap dugaan insiden itu.
Baca Juga
Baca Juga
Dikutip dari News18 pada Kamis (2/6/2016), pada Mei lalu ada seorang wanita dari Distrik Ahmednagar melamar menjadi polisi.
Advertisement
Sebelum mendaftar, ia menikahi seorang pria berusia 25 tahun yang berasal dari Nashik. Bagi sang pria, ini adalah pernikahan ke dua kalinya.
Pasangan tersebut adalah anggota masyarakat Kanajarbhat yang terdiri dari dua sekte, yaitu Dera Sachha dan Khandpith. Masyarakat ini memiliki tata nilai sendiri yang diikuti dengan ketat, termasuk urusan keperawanan.
Ketika ada pernikahan warga, para pemangku adat atau panchayat berkumpul di luar rumah pengantin baru ketika pasangan itu sedang berhubungan seksual di atas kain putih polos untuk keperluan 'uji keperawanan' sang wanita.
Dalam kasus ini, sang suami mengatakan bahwa sang wanita tidak mengeluarkan darah setelah berhubungan seksual sehingga ia menolaknya menjadi istri. Pernikahan pun dibatalkan.
Sang wanita bersikeras bahwa ia masih perawan dan ketiadaan darah sewaktu bercinta pertama kali bisa disebabkan oleh latihan berat yang dijalaninya sebagai persiapan melamar menjadi polisi.
Keesokan harinya, sang wanita dan ibunya mencoba mengadu kepada polisi, tapi sang ayah turut campur dan mengunci mereka berdua di dalam rumah. Telepon genggam milik anak perempuannya pun diambil.
Krishna Chandgude, pegiat Maharashtra Andhashraddha Nirmoolan Samiti, mengatakan ia mendatangi rumah itu dan bicara dengan sang wanita dan orangtuanya.
Maharashtra Andhashraddha Nirmoolan Samiti adalah komisi perlindungan hak wanita di negara bagian itu.
Chandgude mencoba meyakinkan sang ayah agar mengadu ke polisi, tapi sang ayah gentar menghadapi para pemangku adat.
Avinash Patil, presiden Samiti, mengingatkan bahwa provinsi Maharashtra merupakan negara bagian pertama di India yang meloloskan peraturan yang melarang boikot sosial dan keadilan tak masuk akal yang ditegakkan oleh para panchayat.
Peraturan yang dikenal dengan 'Maharashtra Protection of People from Social Boycott (Prevention, Prohibition and Redressal) Act, 2016' itu masih harus disetujui oleh Presiden.
Jika diterapkan, ritual-ritual sejenis uji keperawanan itu akan dilarang, katanya.
Neelam Gorhe, wanita pemimpin partai Shiv Sena yang sekaligus anggota dewan legislatif, menyebut kejadian itu sebagai "kekejian mental dan fisik" terhadap sang wanita dalam kasus ini.
"Tindakan bisa diambil bahkan dengan peraturan yang sudah ada. Kita perlu lebih mawas untuk memastikan kasus-kasus seperti itu tidak terjadi."
Sementara itu, sang suami mengaku bahwa 'uji keperawanan' dilakukan karena permintaan para anggota keluarga pengantin wanita.
Namun demikian, Rahatkar membantah klaim itu dan menambahkan, "Wanita itu mengatakan bahwa seandainya suaminya datang untuk mengambilnya kembali, ia siap untuk hidup bersama dengan pria itu."