Sukses

Hillary Clinton: Jika Terpilih, Trump Bisa Memicu Perang Nuklir

Hillary dalam kampanyenya di San Diego mengkritik kebijakan luar negeri Trump, menyebut sosok kontroversial itu telah menyerang sahabat AS.

Liputan6.com, San Diego - Kandidat calon presiden asal Partai Demokrat Hillary Clinton mengecam kebijakan luar negeri yang diusung pesaingnya, Donald Trump -- menyebut itu sebagai ancaman. Mantan ibu negara AS itu juga menilai Trump menakutkan dan menggelikan.

Clinton mengatakan, jika Trump terpilih untuk menduduki Gedung Putih maka bukan tidak mungkin perang nuklir akan terjadi. Sederhana saja, karena miliarder nyentrik itu terlalu sensitif.

"Ide-ide Trump tidak hanya berbahaya, namun juga membingungkan. Itu semua bahkan tidak benar-benar sebuah ide, melainkan hanya omong kosong, dendam pribadi, dan kebohongan," ujar Clinton dalam kampanyenya di San Diego seperti dikutip Reuters, Jumat (3/6/2016).

Mantan Menlu AS itu diprediksi akan menjadi calon presiden dari Partai Demokrat dan berhadapan dengan Trump dalam babak final pemilu AS yang digelar 8 November mendatang. Prediksi tersebut menguat meski pemilihan primary sendiri baru akan dilaksanakan pada 7 Juni mendatang.

Kehadiran Trump di panggung politik AS, terlebih kemampuannya meraih perolehan dukungan yang membuatnya menjadi satu-satunya kandidat capres AS dari Partai Demokrat telah mengejutkan banyak pihak, termasuk kalangan elite Demokrat. Bagaimana tidak, Trump berhasil melumpuhkan 16 pesaingnya dan kini ia terus melaju dengan percaya diri.

Clinton sendiri mengaku, ia sama sekali tak gentar dengan kepopuleran Trump.

"Dia bilang dia punya pengalaman kebijakan luar negeri karena ia menjalankan kontes Miss Universe di Rusia. Dia akan menjalankan ekonomi AS seperti menjalankan salah satu kasinonya," kata Hillary sementara pendukungnya menanggapi pernyataan itu dengan tertawa.

Menurut ibu dari Chelsea Clinton itu, Trump akan menanggapi pernyataannya dengan cepat melalui akun Twitternya. Dan benar saja, tak lama setelah mengucapkan hal itu, Trump menanggapi pernyataan Clinton di Twitternya.

"Penampilan yang buruk dari 'Crooked Hillary Clinton!", tulis akun Twitter miliader itu.

Tak hanya itu, Trump juga menulis, "Dia tidak bisa membaca telepromter! Dia bahkan tidak terlihat layak sebagai seorang presiden!".

Sebelumnya, Trump sempat menuduh bahwa Hillary telah mendistorsi kebijakannya yang sebenarnya.

Kebijakan Luar Negeri Hillary VS Trump

Di tengah tawa penonton, Hillary sempat menceritakan pengalamannya ketika menjabat sebagai Menteri Luar Negeri, khususnya perannya ketika ia terlibat dalam misi perburuan terhadap pemimpin Taliban, Osama bin Laden. Ia menekankan, AS butuh pendekatan kebijakan luar negeri yang lebih serius.

"Dia (Trump) memuji seorang diktator seperti Vladimir Putin dan menyerang pihak yang selama ini menjadi teman kita seperti PM Inggris, Wali Kota London, Kanselir Jerman, Presiden Meksiko, dan Paus Fransiskus," jelas Clinton.

Pernyataan serupa pernah dilontarkan Barack Obama. Ia menyebut Trump bodoh dan angkuh terkait hubungan internasional bahkan Presiden AS itu mengatakan bahwa melejitnya posisi Trump telah mengejutkan para pemimpin dunia.

Sebelumnya, dalam berbagai kesempatan Trump telah menjelaskan kebijakan luar negerinya jika ia terpilih menduduki kursi orang nomor satu di Negeri Paman Sam. Ia menegaskan akan memberlakukan kembali interogasi waterboarding dan sejumlah teknik brutal lainnya terhadap tersangka terorisme -- selama era Obama teknik interogasi brutal telah dihentikan.

Sosok kontroversial itu juga bersumpah akan menegosiasikan kembali sejumlah kesepakatan perdagangan, menyerukan larangan umat Islam untuk masuk ke AS, dan meminta 'bayaran' dari 28 negara anggota NATO -- yang jika tidak bersedia membayar dipersilahkan 'keluar'.

Tak hanya sampai di situ, Trump bahkan berniat duduk dan bicara dengan Kim Jong-un untuk meminta negara itu menghentikan program nuklirnya. Kesemuanya itu, dibantah Clinton. Menurutnya, ia sanggup menjaga AS lebih baik dari yang dapat dilakukan Trump, membandingkan kebijakannya dengan Trump sebagai dua visi yang sangat berbeda.

"Yang satunya adalah kemarahan, ketakutan dan mendasari gagasannya bahwa AS secara fundamental lemah dan kecil. Sementara yang satunya adalah harapan, dermawan, dan percaya diri bahwa AS adalah negara besar, seperti yang selalu kita yakini," tegas Clinton.

Trump sendiri mengkritik kebijakan luar negeri Hillary yang bertugas selama 2009-2013 sebagai Menlu AS, termasuk serangan terhadap pos diplomatik AS di Benghazi, Libya pada 11 September 2012 yang menewaskan Dubes AS dan tiga orang lainnya. Ia juga mengambil contoh, dukungan Hillary terhadap perang di Irak pada era George W. Bush.