Sukses

Kilau Marmer Afganistan Jadi Sumber Pundi Harta Taliban?

Bisnis marmer di selatan Afganistan disebut mendatangkan belasan juta dolar ke kas Taliban.

Liputan6.com, Kabul - Pemerintah Afganistan secara tidak langsung "membiayai" Taliban. Setiap tahunnya, jutaan dolar mengalir ke kas kelompok pemberontak itu. Bagaimana bisa?

Afganistan, negara yang porak-poranda akibat perang itu, memiliki deposit mineral, sehingga membuat bisnis marmer tumbuh. Ternyata, tak hanya negara yang diuntungkan, Taliban juga.

Produksi marmer di Provinsi Helmand, Afganistan cukup besar. Sayangnya, wilayah itu berada di bawah cengkeraman Taliban.

Pemerintah disebut tidak dapat mengekstraksi marmer sendiri, tetapi bertekad mempertahankan industri marmer embrio. Mereka membeli marmer dari perusahaan swasta yang membayar pajak secara rutin ke Taliban.

Pada 2014, tim pemantau PBB memperkirakan setidaknya dua per tiga dari US$ 15 juta yang digunakan untuk pembuatan marmer berakhir di kantong kelompok pemberontak itu.

Utusan presiden untuk Provinsi Helmand, Abdul Jabbar Qahraman, mengklaim angka itu bahkan jauh lebih tinggi. "Kini Taliban memperoleh US$50 ribu-US$60 ribu per hari dari bisnis marmer," ujarnya.

Jika dihitung per tahun, maka kelompok itu bisa mengumpulkan US$18 juta per tahun. Pemerintah setempat mengetahui praktik ini, tapi tak banyak yang bisa mereka lakukan.

"Ya, kita prihatin. Tapi kita tak punya pilihan lain," ujar salah seorang pejabat di Helmand yang enggan menyebutkan nama karena pemerintah telah melarang seluruh jajarannya untuk berbicara kepada media.

Sebuah pabrik marmer Italia yang berusia 55 tahun adalah satu-satunya pabrik yang berdiri di Lashkar Gah, Helmand. "Bisnis tidak pernah berjalan lebih baik," ujar manajer pabrik Mohammad Lal Kargar yang telah bekerja sejak tahun 1970-an seperti dikutip The Guardian, Sabtu (4/6/2016).

Menurut Lal Kargar, bisnis marmer Afganistan tengah naik daun. Meski permintaan terus tumbuh, pabrik hanya mendapat untung 8.000-9.000 euro per bulan. Nilai itu adalah sebagian kecil saja dari pajak yang harus disetorkan ke Taliban.

Pabrik di Lashkar Gah tidak sepenuhnya milik pemerintah, hanya 49% saja. Sementara, sisanya milik swasta yang dipimpin oleh seorang mantan kontraktor AS.

Karena Taliban menolak menjual marmer kepada pemerintah, maka pabrik membeli barang tambang itu dari kontraktor swasta yang mengekstrasi batu dan mengangkutnya ke Lashkar Gah.

Baik pemerintah maupun Taliban, keduanya menuntut biaya ekstraksi dari kontraktor. Kedua belah pihak mengklaim distrik di selatan Afganistan yang kaya mineral itu sebagai wilayah mereka.

Salah seorang sumber menyebutkan, untuk setiap truk yang mengangkut marmer, Taliban membebankan biaya US$ 300 hingga US$ 500 per ton, tergantung kualitasnya. Sementara itu, marmer pink onyx--jenis marmer yang paling mahal dihargai US$ 700 per ton oleh mereka.

Menurut Badan Pendukung Investasi Afghanistan (AISA), onyx Afghanistan memiliki harga tujuh kali lebih mahal dari marmer Pakistan. Ini membuat ekspor marmer jenis onyx jauh lebih sulit.

2 dari 2 halaman

Marmer Afganistan yang Diakui Milik Pakistan

Penyelundupan Marmer ke Pakistan

Sebuah pabrik marmer di Afghanistan (The Guardian)

Pemerintah pusat di Kabul menolak laporan itu dan mengatakan tidak ada pungutan liar yang mengalir ke kas Taliban.

"Tak seorang pun di Helmand mengeluhkan pungutan liar Taliban juga tidak ada marmer yang dikirim ke Pakistan secara ilegal," ungkap juru bicara Kementerian Perdagangan Afganistan Musafar Quqani.

Pernyataan itu bertentangan dengan hal yang diklaim mantan jubir kementerian Wahidullah Ghazikhil. Menurut dia, pemerintah bekerja sama dengan pihak swasta yang menyetor ke Taliban untuk menyelundupkan marmer ke Pakistan.

"Perusahaan-perusahaan swasta menyuap Taliban demi keuntungan mereka sendiri. Pemerintah tidak dapat berbuat apa-apa. Tak ada yang tahu persis berapa banyak uang yang telah mereka dapat melalui bisnis ini," ujar Ghazikhil.

Ketika ditanya, apakah seharusnya pemerintah berhenti membeli marmer, seorang pejabat Helmand mengatakan, "Pemerintah telah serius mempertimbangkan hal itu. Namun orang lain akan membelinya, kemudian semua marmer akan dibawa ke Pakistan," katanya.

Pada 2014, Afganistan menandatangani Undang-Undang Pertambangan baru. Namun sementara UU itu dalam masih penyempurnaan, "Tidak ada ketentuan yang melarang kelompok bersenjata, milisi atau anggota tentara nasional mengambil manfaat dari pertambangan," kata lembaga anti-korupsi Global Witness.

"Marmer hanya bagian dari koneksi yang lebih luas antara ekstraksi, korupsi dan kelompok bersenjata," ujar Ketua Kampanye Kelompok Afganistan Stephen Carter.

"Sumber daya seperti ini seharusnya mendanai pembangunan dan meningkatkan kemandirian Afganistan dari donor asing. Sebaliknya, mereka menempatkan Afganistan pada risiko nyata dari sebuah konflik kronis, konflik yang dipicu oleh sumber daya alam," katanya.

PBB mengidentifikasi, terdapat 25 hingga 30 pertambangan liar di Helmand di mana 80% dari marmer itu dibawa secara ilegal ke Pakistan.

"Mereka menaruh cap mereka sendiri dan menyebutnya marmer Pakistan," kata manajer pabrik, Lal Kargar.

Kondisi jalan yang tidak aman membuat impor marmer ke Kabul lebih mudah dilakukan lewat Pakistan daripada mengangkutnya dari Provinsi Helmand dan Badakhshan. Laporan AISA menyebutkan, lebih dari 80% marmer Afganistan berasal dari Pakistan.

Penyelundupan marmer itu dilakukan melalui rute yang populer digunakan sebagai jalur penyelundupan senjata dan obat-obatan. NATO menyebut jalur itu sebagai "sebuah komando dan area di bawah kontrol Taliban"--sebuah jalur yang belum pernah "ditembus" oleh pemerintah maupun pasukan koalisi.

Selama 14 tahun, pasukan koalisi yang dipimpin AS dilaporkan menghabiskan lebih banyak dana dan "nyawa" di Helmand dibanding dengan tempat lainnya di Afganistan. Jubir koalisi di Afganistan, Brigjen Charles Cleveland, mengatakan membersihkan daerah selatan Afganistan belum menjadi prioritas utama. Namun memutus jalur penyelundupan disebutnya sia-sia.

"Memotong rute pasokan Taliban diperlukan kerja sama dari tetangga Afganistan. Mengamankan perbatasan tidak hanya dilakukan dari satu sisi perbatasan. Pemerintah Afganistan tidak akan dapat melakukannya sendiri," ucapnya.

Estimasi USAid, total potensi ekspor marmer Afganistan mencapai 500 juta Euro. Sementara itu, PBB memprediksi cadangan marmer Afganistan mencapai 100 juta Euro hingga 140 juta Euro.