Liputan6.com, New Delhi - Saat kecelakaan lalu lintas terjadi, orang-orang yang ada di jalan biasanya berlarian untuk membantu para korban. Atau setidaknya, berteriak meminta pertolongan.
Namun, itu tak terjadi di India. Di negara yang terkenal dengan kondisi jalan yang penuh marabahaya, korban seringkali dibiarkan tergeletak begitu saja.
Seperti yang dialami Kanhaiya Lal. Pria itu putus asa meminta belas kasihan para pengendara motor yang melintas di dekatnya. Putranya yang belia, juga istri dan anak perempuan yang masih bayi tergeletak tak berdaya di sebelah motor yang hancur.
Rekaman CCTV kejadian itu, yang menunjukkan penderitaan keluarga korban tabrak lari di India utara pada 2013 dan ketidakpedulian orang-orang di sekitar mereka menjadi keprihatinan warga seluruh India.
Meski sejumlah pengendara motor dan polisi kemudian menghampiri, istri dan putri Lal tak bisa diselamatkan.
Kematian mereka memicu perdebatan sengit tentang peran pengguna jalan dalam menolong sesama. Media menyebut, kejadian itu menunjukkan 'apatisme publik'. Bahkan lebih buruk lagi, 'matinya rasa kemanusiaan'.
Â
Advertisement
Namun, aktivis yang mengkampanyekan keselamatan, Piyush Tewari punya pendapat berbeda.
Menurut dia, hal itu tidak disebabkan ketidakpedulian masyarakat, namun sistem yang menghalangi warga membantu korban kecelakaan lalu lintas.
Tewari juga punya pengalaman buruk. Sekitar 10 tahun lalu, keponakannya yang berusia 17 tahun ditabrak dalam perjalanan pulang sekolah.
"Banyak orang yang berhenti, namun tak ada yang menolongnya," kata Tewari, seperti dikutip dari BBC, Rabu (8/6/2016). "Ia meninggal kehabisan darah di sisi jalan."
Tewari jelas merasa terluka, namun ia berusaha memahami perilaku tersebut.
Intimidasi Polisi
Tewari menemukan pola yang sama di seluruh wilayah. Mereka yang melintas, yang seharusnya bisa membantu, tak melakukan apapun.
"Alasan utama adalah intimidasi polisi," kata dia. "Seringkali ketika seseorang membantu korban, aparat salah mengira itu karena perasaan bersalah sebagai pelaku."
Penemuan tersebut mendorong Tewari mendirikan SaveLIFE. Dalam survei tahun 2013, yayasan tersebut menemukan 74 persen warga India memilih diam alih-alih membantu korban kecelakaan lalu lintas -- baik saat sendiri maupun sedang bersama sesama pengguna jalan.
Â
Selain jadi sasaran tudingan sebagai pelaku, orang-orang juga mengaku takut 'terjebak' menjadi saksi dalam persidangan -- sebuah proses yang kerap berlarut-larut.
Alasan lain, jika membantu korban, warga merasa takut dan merasa tertekan untuk membayar biaya perawatan.
Di negara yang memiliki layanan darurat yang baik, saksi mata kecelakaan hanya perlu menghubungi ambulans atau memberikan pertolongan pertama kepada korban.
Namun, di India, jumlah ambulans sungguh terbatas. Kalaupun ada, lambatnya bukan kepalang dan tak dilengkapi perlengkapan memadai. Itu mengapa negara itu membutuhkan banyak orang baik.
Menurut Tewari, sejatinya banyak orang baik di India, mereka hanya berhati-hati memberikan pertolongan.
Pria itu menceritakan kondisi berbeda ketika kecelakaan kereta atau ledakan bom terjadi. "Bahkan sebelum polisi dan media datang, korban sudah dipindahkan ke rumah sakit," kata dia.
Alasannya, dua peristiwa tersebut beda dengan kecelakaan lalu lintas yang korbannya satu atau dua orang. "Peluang untuk dipersalahkan lebih besar."
SaveLIFE mengajukan kasus ke mahkamah India, mengupayakan perlindungan hukum pada pengguna jalan yang menyaksikan insiden kecelakaan.
Orang Baik Dikriminalisasi
Namun, dua bulan kemudian, peristiwa tabrak lari lain yang diabadikan CCTV mengejutkan India.
"Lihat, mereka hanya menonton," kata Anita Jindal, berurai air mata, saat menyaksikan rekaman CCTV dalam ponselnya.
Sebuah mobil yang melaju kencang menabrak putranya Vinay yang sedang mengendarai motor.
Pemuda 20 tahun itu terluka parah, sementara orang-orang hanya menonton, tanpa memberikan pertolongan.
Rekaman kejadian tersebut ramai beredar di media sosial. Bahkan disinggung dalam siaran radio bulanan Perdana Menteri Narendra Modi.
"Seandainya seseorang mengulurkan tangan saat itu, ia mungkin masih bersamaku saat ini," kata Anita Jindal. "Semua orang mengaku mereka takut pada polisi."
Rasa takut itu membuat mereka tak berbuat apapun.
Perjuangan Piyush Tewari dan SaveLIFE masih panjang. Mereka berupaya agar aturan Mahkamah Agung diterapkan di 29 negara bagian di India. Aturan itu menjamin orang-orang baik tak dikriminalisasi.
Seperti yang dialami Shrijith Ravindran. Pada Januari lalu, ia menolong seorang pria sepuh yang terbaring berlumuran darah di sisi jalan di Kota Pone.
Ada banyak orang berkerumun kala itu, namun mereka tak melakukan apapun, kecuali ramai berdebat tentang apa yang akan dilakukan.
Segera mengangkat korban ke mobilnya dan melarikannya ke rumah sakit terdekat.
Setibanya di ruang gawat darurat, ia diberi segepok dokumen untuk diisi. Butuh waktu 3 jam untuk mengisi semua formulir itu.
"Mereka bertanya, 'Apa kau keluarga korban?' Jika menjawab bukan, mereka tak akan melakukan apapun," kata Ravindran.
"Mereka membutuhkan orang yang menjamin biaya rumah sakit akan dibanyar. Dan, waktu yang berharga berlalu begitu saja..."
Pria sepuh tersebut baru mendapat tindakan setelah semua dokumen selesai diisi. Itu terlambat. Ia tewas akibat luka parah.