Liputan6.com, Miami - Ketika Chang Ho-kim tinggal di Korut, semua informasi tentang negerinya yang tertutup berasal dari China.
Lewat kisah film-film bajakan buatan Tiongkok, Amerika Serikat di mata Kim 'negara kaya dan mewah'.
Baca Juga
Tahun 1997, saat bencana kelaparan menewaskan 1 juta orang di Korut, Kim memutuskan kabur ke China bersama sang istri. Lantas ke Mongolia lalu ke Korsel.
Advertisement
Para pembelot dari Utara secara otomatis menjadi warga negara Korsel setelah mendapat 'kursus persiapan' 3 bulan.
Kebanyakan para pembelot Korut di Korsel sangat mudah sekali dikenali, tak terkecuali Kim. Mereka memiliki aksen Korea yang berbeda, lebih pendek, kulit yang menghitam, pucat akibat malnutrisi. Sulit menghindari penghakiman para warga Korsel -- yang menganggap seluruh warga Korut adalah mata-mata.
Mengingat bayangan Hollywood di AS, Kim memutuskan kabur ke Negeri Paman Sam secara ilegal lewat agen.
Namun, seperti Kim dan warga Korut lainnya, hidup di AS tak indah seperti di khayalan.
Berikut kisah 3 pembelot Korut yang mengadu nasib di AS, seperti Liputan6.com lansir dari The Guardian, Selasa (14/3/2016).
Mimpi Amerika datang bersama harga-harga yang mahal. Para pembelot AS itu datang tanpa bahkan sedikit pengetahuan tentang apa itu pembayaran, ngontrak rumah, pelayanan sosial dan layanan kesehatan.
"Kehidupan Amerika itu susah. Uang. uang. uang," kata Pastor Young Gu-kim, imigran Korsel yang membantu para pembelot.
"Bahkan beberapa pembelot berkata kepadaku, 'Pastor, kadang aku rindu kampung halaman..."
Seperti halnya Chang Ho-kim, kebanyakan warga Korut masuk ke Los Angeles secara ilegal, bercampur ke dalam populasi besar Korea lainnya di situ. Lebih dari 200 mantan warga Korut tinggal di LA.
"Padahal pemerintah Korsel memiliki program yang sangat murah hati untuk menata kehidupan Korut. Pada dasarnya, program seumur hidup, lantas ada bantuan pendidikan, rumah dan lainnya," kata Lindsay Llyod, yang bekerja untuk George W Bush Institute Program untuk Korut.
"Jadi, program Korsel jauh lebih manusiawi dengan apa yang para pembelot dapatkan di AS."
Saat di Korsel, para pencari suaka Korut ini mendapatkan uang ribuan dolar untuk memulai kehidupan mereka. Belajar berbelanja dan menggunakan ATM.
"Sementara, mereka yang datang ke AS... pemerintah hanya memberikan bantuan selama 6 bulan. Itu pun diberikan lewat kelompok kemanusiaan dan lainnya mereka harus mencari sendiri seperti, mencari rumah, asuransi kesehatan, kursus bahasa Inggris dan mencari pekerjaan," terang Llyod.
Departemen Luar Negeri AS mencatat ada 192 orang Korut masuk ke AS dari 1 Januari 2002 hingga 20016. Namun, mereka adalah pencari suaka yang mendapatkan Green Card lewat North Korean Human Rights Act tahun 2004.
Sementara, Kim dan keluarganya adalah mereka yang tidak tercatat. Tinggal di apartemen 2 kamar di Koreatown di LA. Sebelumnya bahkan mereka berbagi unit apartemen dengan keluarga Korut lainnya.
Istri Kim bekerja penuh waktu sebagai pemijat di tempat Kim bekerja paruh waktu. Kehidupan mereka sehari-hari dibantu oleh gereja Korea dan kelompok masyarakat.
Dua tahun lalu, keluarganya nyaris dedeportasi, kata Kim yang telah mengganti namanya semenjak tiba di AS. Untungnya mereka bisa tinggal menggunakan visa U, yaitu visa untuk korban kejahatan.
Visa U membuat mereka berhak mendapat stampel makanan. "Itu hal yang paling baik diberikan oleh AS," terang Kim. Pria itu berpikir negara AS seharusnya memberikan banyak bantuan kepada warga Korut seperti uang dan lainnya.
Llyod mengatakan pemikiran Kim tidaklah aneh karena ia berasal dari negara 'komunis'.
"Sangat maklum orang dari latar belakang seperti itu mengharapkan pemerintah melakukan sesuatu untuk mereka."
Menurut para ahli, orang Korut di AS mengalami rasa isolasi karena jumlah mereka sedikit. Gelombang imigrasi besar-besaran warga Korsel ke As selama 1960 hingga 1970-an, setelah Perang Korea, serta penghakiman bahwa warga Korut adalah mata-mata tak pernah hilang.
Mereka dengan Green Card
Ok Soon-joo adalah salah satu dari mereka yang beruntung mendapatkan Green Card. Pada September 2011 Joo tiba di AS. Setelah berhasil kabur untuk kedua kalinya dari Korut, ia menghabiskan sekian tahun di China dan menikahi pria setempat.
Joo lantas berhasil kabur ke kamp pengungsi di Thailand di mana ia bisa mengontak tantenya yang berhasil masuk AS beberapa bulan kemudian.
"Aku beruntung, hanya 10 bulan bisa sampai ke AS," kata Joo.
Karena ia memiliki kanker stadium lanjut di perutnya, aplikasi visanya mendapat perlakuan istimewa.
Joo sampai di Colorado dan langsung mendapat perawatan serta pembedahan. Kankernya berhasil diobati, namun kesehatannya menurun.
Kendati merasa beruntung, sebenarnya ada kisah sedih di balik kepergiannya.
Ketika Joo meninggalkan kota kecil di Korut, ia meninggalkan anak laki-lakinya berumur 12 tahun dan suaminya. Di kemudian hari ia mengetahui, kalau keduanya kehabisan makanan dan anaknya hilang.
Joo menghabiskan waktu bertahun-tahun di China dan memiliki anak perempuan berusia 6 tahun dengan laki-laki setempat. Karena ia tak punya dokumen, ia tak punya bukti kalau ia ibunya.
Kehidupan di China juga sangat sulit.
"Ketika kau di China, sebagai perempuan. Masalahmu makin sulit. Ada banyak perdagangan perempuan dan seks. Ada orang yang mau mengeksploitasi wanita pembelot, karena kau tak punya kartu identitas China... kau kehilangan nilaimu sebagai manusia," kata Joo.
Kini, Joo yang berusia 38 tahun, bekerja untuk salon perawatan kulit dan tinggal bersama partnernya-- seorang pria Korea Selatan. Ia merasa beruntung tinggal di AS, namun pikirannya melayang ke Utara.
"Karena kami lahir di Korea Utara, sepertinya seperti kutukan yang menghantuiku," katanya.
"Aku bertanya, apakah dosa aku yang telah kuperbuat di kehidupan lain, sehingga aku dilahirkan di Korea Utara?"
Joo tahu kalau nyaris tak mungkin bertemu anak laki-lakinya. Namun, ia berharap bisa bertemu anak perempuannya.
"Aku ingin membawanya kemari. Aku tidak datang ke sini agar aku bisa tinggal sendiri, tidak."
Advertisement
Kisah Mereka yang Jadi WN AS
Hanya sedikit dari mereka yang berhasil mendapatkan warga negara AS.
Sammy Hyun adalah salah satunya.
Ia pernah dipenjara di Korut karena mencoba kabur dari negeri itu. Akhirnya Sammy berhasil keluar bersama keluarganya dan tinggal di kamp pencari suaka di Beijing.
Kini, ia adalah warga AS, bekerja sebagai koki sushi, tinggal bersama anak laki-lakinya yang berusia 6 tahun.
Sammy yang berusia 40 tahun, ia merasa bersyukur bisa jadi warga AS dan tinggal di negara itu selama 2007.
Beberapa tahun lalu ia pernah mengunjungi kakak-kakaknya di Korsel. Ia membawa vitamin dan buah kering dari toko terkenal di AS, Costco.
Â