Liputan6.com, Jakarta - Negeri yang dikepalai oleh Ratu Elizabeth II menggelar referendum untuk memutuskan bertahan atau keluar dari keanggotaan Uni Eropa (UE). Pemungutan suara ini dikenal dengan nama Brexit, singkatan dari 'British Exit'.
Hasilnya, Inggris resmi hengkang dari Uni Eropa.
Dilansir dari Time, Jumat (24/6/2016), terdapat tiga alasan utama mengapa warga Inggris menginginkan cerai dari organisasi tersebut.
Advertisement
Pertama, mereka yang menginginkan Brexit terjadi percaya bahwa jangkauan kekuasaan UE begitu besar hingga berdampak pada kedaulatan Inggris.
Kedua, kelompok pro-Brexit merasa terganggu dengan aturan yang ditetapkan di Brussels, markas UE, di mana mereka meyakini hal itu mencegah bisnis beroperasi secara efisien. Isu migran adalah alasan ketiga sekaligus utama yang memicu perdebatan Brexit 'memanas'.
Sebagaimana diketahui bahwa salah satu prinsip kunci dari UE adalah pergerakan bebas setiap warganya. Ini berarti warga Inggris dapat bekerja dan hidup di negara mana saja yang tergabung dalam UE, begitu juga sebaliknya.
Terdapat sekitar 3 juta warga UE lainnya yang hidup di Inggris, sementara terdapat 1,2 juta warga Inggris yang tersebar di sejumlah negara UE. Briton, sebutan untuk warga Inggris, menyalahkan para migran terkait dengan sejumlah isu seperti pengangguran, upah rendah, dan rusaknya sistem pendidikan serta kesehatan bahkan kemacetan lalu lintas.
Pengaruh Brexit pada Dunia
Inggris adalah salah satu mitra utama Amerika dalam perdagangan, sehingga perubahan monumental ini akan menimbulkan ketidakpastian dalam masa depan hubungan itu, terutama jika Britania Raya mengalami resesi. IMF memperingatkan bahwa Brexit dapat menurunkan output ekonomi banyak negara, termasuk AS hingga mencapai setengah persen.
Akibatnya, nilai euro atau poundsterling akan terpuruk di bawah dolar. Ini akan menjadi pukulan kuat bagi eksportir AS. Sementara itu, di luar hubungan ekonomi, Negeri Paman Sam juga patut khawatir dengan ketidakstabilan politik pasca-Brexit terjadi.
Tidak menutup kemungkinan, sejumlah negara lain akan mengikuti jejak Inggris meninggalkan blok perdagangan terbesar di dunia, melemahkan Eropa secara keseluruhan termasuk mengancam masa depan NATO. Sementara di sisi lain, bayang-bayang Rusia mengintai.
Proses Inggris menjadi anggota UE
Setelah Perang Dunia II berakhir pada 1945, Inggris menolak untuk bergabung dengan lembaga baru bentukan sejumlah negara Eropa. Lembaga ini mendorong pada kerja sama dan hubungan damai. Inggris lebih tertarik untuk fokus pada sektor perdagangan dan investasi dengan sejumlah mantan koloninya, seperti AS, India, Kanada, dan Australia.
Pada 1960-an, Inggris pun berubah pikiran. Britania Raya akhirnya memutuskan bahwa akan lebih baik jika bergabung dengan Komunitas Ekonomi Eropa (EEC), kelak menjadi UE. Namun keinginan Inggris itu mendapat penolakan dari sejumlah negara Eropa, khususnya Prancis.
Pinangan Inggris untuk bergabung dengan EEC ditolak pada 1961. Presiden Prancis ketika itu, Charles de Gaulle, takut Inggris akan menjadi kuda troya--musuh di dalam selimut--bagi pengaruh AS.
Setelah de Gaulle lengser dan digantikan Felix Gouin, tepatnya pada 1967, Inggris kembali melamar menjadi anggota UE. Kali ini permohonan itu diterima dan Britania Raya resmi bergabung dengan zona perdagangan bebas UE pada 1973. Setelah itu EEC berganti nama menjadi Masyarakat Eropa dan terakhir menjadi UE.
Saat ini Uni Eropa tidak hanya berkutat pada sektor perdagangan, tetapi juga hak asasi manusia dan kebijakan luar negeri terkait dengan hukum lingkungan. Sejumlah organ penting UE antara lain Parlemen UE, Komisi UE, Mahkamah UE, dan Bank Sentral UE.