Sukses

5 Akademisi Bicara Tentang Dampak Buruk Referendum Brexit

Lima intelektual Inggris mengungkap sejumlah resiko buruk Brexit terhadap sektor pendidikan di Negeri Ratu Elizabeth itu.

Liputan6.com, Norfolk- Lima akademisi dari University of Anglia (UEA) di kota Norwich, Norfolk, Inggris mengungkapkan kekecewaan mendalam mereka terkait hasil referendum Brexit yang memutuskan Inggris segera hengkang dari Uni Eropa.

Hal itu didasari oleh sejumlah alasan, terutama yang terkait dengan masa depan sektor pendidikan Inggris.

Kelima akademisi itu berasal dari fakultas ilmu sosial dan politik, filsafat, bahasa dan komunikasi dan ekonomi universitas tersebut.

Berikut penilaian lima sosok dari kalangan intelektual di University of Anglia, terkait referendum Brexit, seperti dilansir dari Independent, Minggu, (26/6/2016) :

‘Xenophobia’

Marina Prentoulis, ia adalah seorang dosen senior untuk fakultas politik, filsafat, literatur dan komunikasi. Prentoulis menjelaskan bahwa Brexit memicu lahirnya gelombang 'xenofobia', atau ketakutan akan orang asing, khususnya para pengungsi.

Marina Prentoulis, dosen senior untuk fakultas politik, filsafat, literatur dan komunikasi di University of Anglia (UEA) di kota Norwich, Norfolk, Inggris. (Sumber:

Ia menambahkan, dampaknya lambat laun akan merembet ke sektor pendidikan di mana jumlah siswa di institusi pendidikan di Inggris akan mengurang secara drastis, mengingat sebagian besar murid berasal dari negara-negara di Eropa.

Selain penurunan jumlah siswa di sejumlah institusi pendidikan di Inggris, Marina khawatir penurunan serupa juga akan menimpa sektor lain seperti, kerjasama riset dan pengembangan dengan negara-negara yang berada di bawah naungan Uni Eropa.

“Ilmu pengetahuan tidak mengenal batas. Keputusan hengkang artinya Inggris kini tak lagi bisa menempati posisi terunggul dalam bidang riset dan teknologi di wilayah Eropa,” jelas Marina.

Peran Media

Senada dengan Marina, ahli jurusan komunikasi politik di University of Anglia, Sally Broughton Micova turut menyayangkan keputusan mayoritas rakyat Inggris.

Namun dirinya lebih tertarik untuk membicarakan penyebab tercetusnya sebuah keputusan yang membuat negaranya itu akhirnya cerai dari Uni Eropa.

Ahli jurusan komunikasi politik di University of Anglia, Sally Broughton Micova. (Sumber: London School of Economics)

"Menurut saya, media telah berkali-kali gagal dalam upayanya untuk menyajikan informasi yang akurat kepada masyarakat. Mereka justru menyodorkan informasi yang hanya sebatas di permukaan saja tanpa memberikan penjelasan lebih lanjut terkait kelebihan dan kekurangan dari dua opsi yang ada," kata Sally.

Ia kemudian menjabarkan dampak yang sudah terjadi di kawasan Eropa, yaitu efek domino Brexit. Sally mengaku dirinya sudah mengkhawatirkan dampak tersebut sejak pertama kali melakukan analisa terhadap dua keputusan penting itu.

“Tentunya kemenangan kampanye populis pro Brexit akan memicu aksi serupa di negara-negara Eropa lainnya. Ini merupakan tragedi yang paling menyedihkan untuk Inggris, Eropa dan demokrasi,” tambahnya.

2 dari 2 halaman

Isu Dana hingga Pengungsi

Sumber Dana

Akademisi lainnya seperti, Profesor Alan Finlayson, ahli ilmu politik dan sosial, meneliti lebih dalam sejumlah dampak negatif yang kemungkinan besar akan terjadi pasca Brexit.

"Sentimen masyarakat terhadap politik tentunya akan berubah sehingga mempengaruhi sistemnya secara keseluruhan. Ini akan membuka peluang bagi masyarakat untuk mengutarakan keluhan mereka daripada meningkatkan pemahaman mereka akan sistem tata negara ini," tuturnya.

Ahli ekonomi sekligus dosen untuk kuliah umum jurusan macroeconomics di University of Anglia, Inggris, Alan Finlayson. (Sumber: Norwich High)

Alan mengaku dirinya sudah memprediksi keunggulan pro Brexit terhadap mereka yang bersikeras untuk menetap dalam lingkup Uni Eropa. Kemenangan yang diraih menurutnya, bukanlah suatu keuntungan bagi sektor pendidikan.

Ia menambahkan bahwa dirinya sangat prihatin dengan masa depan pendidikan, khususnya untuk institusi pendidikan tinggi.

Ini dikarenakan, Inggris selama ini terikat dengan Uni Eropa dan oleh karena itu, beberapa kebijakan ekonominya, yang juga mencakupi sektor pendidikan, merupakan hasil kesepakatan kedua belah pihak. Perceraian antar keduanya menandakan bahwa kebijakan harus dirombak ulang sesuai dengan pilihan masing-masing.

“Banyaknya kebijakan ekonomi yang harus didiskusikan dan dirombak ulang sesuai dengan kesepakatan sejumlah figur berkepentingan dalam pemerintahan Inggris, termasuk dana sektor pendidikan, dikhawatirkan akan menjadi biang perlambatan ekonomi di negara tersebut,” lanjutnya.

Perubahan Drastis

Ahli ekonomi yang juga merangkap sebagai dosen kuliah umum jurusan macroeconomics di UEA bernama Fabio Arico, berpendapat serupa dengan Profesor Alan Finlayson soal isu pendanaan untuk sektor pendidikan.

Ahli ekonomi yang juga merangkap sebagai dosen kuliah umum jurusan macroeconomics di University of Anglia, Inggris. (Sumber: Economics Network), Fabio Arico.

Namun dirinya memaparkan secara spesifik, resiko-resiko tak terhindarkan dalam sektor pendidikan, pasca Brexit.

“Berkurangnya jumlah kandidat berpotensi dari institusi pendidikan inggris yang mau bersaing atas nama negara di dalam dunia akademik, dipotongnya dana yang digelontorkan untuk riset dan pengembangan, menurunnya kualitas mengajar para dosen, serta lunturnya esensi keseragaman budaya dan kultur yang pada awalnya diperkenalkan oleh siswa-siswi dari berbagai macam negara,” terangnya.

Nasib Pengungsi

Dosen kuliah umum untuk isu migrasi atau pengungsi, kewarganegaraan dan keamanan, Alexandria Innes juga tidak tinggal diam melihat negaranya memutuskan cerai dari UE.

Dosen kuliah umum untuk isu migrasi atau pengungsi, kewarganegaraan dan keamanan DI Univerity of Anglia, Inggris, Alexandria Innes. (Sumber: Twitter)

Meski dirinya tidak menyetujui keputusan tersebut, Alexandria menegaskan bahwa, masih terlalu dini untuk dirinya dan pihak yang bersangkutan menyimpulkan ada atau tidaknya dampak Brexit terhadap isu pengungsi dan sektor pendidikan, khususnya untuk jurusan ini.

“Kita harus terus memantau perkembangan dialog dan negosiasi antar kedua belah pihak sebelum membuat kesimpulan akhir terkait referendum ini,” kata Alexandria.