Sukses

28-6-1820: Akhir Mitos Tomat 'Pembunuh Manusia'

Kolonel Johnson naik ke tangga gedung pengadilan. Di depan 2.000 orang ia melahap tomat. Dan, pria pemberani itu tak lantas mati.

Liputan6.com, Jakarta - Tokoh utama dalam horor itu bukan vampir, setan, iblis, atau zombie -- melainkan tomat. Spesies Solanum lycopersicum yang tumbuh dalam tempat sampah itu menjelma menjadi makhluk mengerikan.

Tomat beracun menyebabkan seorang pria sekarat karena menenggak jusnya, membahayakan seorang anak kecil, bahkan menyerang seorang perenang. Untuk saja, itu tak terjadi dalam dunia nyata, melainkan adegan dalam film Attack of the Killer Tomatoes yang dirilis pada 1978.

Namun, soal bahaya tomat tak sepenuhnya fiksi. Pada tahun 1700-an, orang-orang di Eropa takut makan tomat.

Tomat -- yang masih jadi perdebatan apakah masuk golongan buah atau sayur -- dijuluki 'poison apple' atau apel beracun.

Tumbuhan asli Amerika Selatan itu awalnya ditanam di dataran tinggi Peru, kemudian menyebar ke Meksiko dan dibudidayakan di ladang-ladang suku Aztec untuk dimasak.

Ada banyak versi soal bagaimana tomat atau 'tomatl' --dalam Bahasa Uto-Aztecan Nahuatl tiba di Benua Eropa. Ada yang mengatakan Cortes yang membawanya pada 1521, lainnya mengatakan Christopher Columbus menentengnya sebagai oleh-oleh pada 1493.

Suatu jenis tomat baru mengandung begitu banyak gizi yang diperlukan untuk kesehatan.

Seperti dikutip Smithsonian.com, orang-orang menuding tomat mengandung racun gara-gara anggapan bahwa para aristokrat atau kaum darah biru sakit bahkan tewas setelah mengonsumsinya.

Padahal, fakta membuktikan, masalahnya bukan pada tomat tapi dari piring timah yang digunakan orang-orang Eropa pada masa lalu untuk makan.

Piring timah memiliki kandungan timah tinggi. Karena tomat rasanya asam, ketika ditempatkan di peralatan makan tersebut, buat atau sayur berwarna merah itu akan meningkatkan kandungan  logam Pb itu -- yang memicu keracunan.

Saat itu, tak pernah ada yang mengaitkan piring timah tersebut dengan insiden keracunan yang terjadi. Maka, tomat pun jadi 'tersangka utama'.

Pada 28 Juni 1820, mitos bahwa tomat mengancung racun mematikan dipatahkan.

2 dari 2 halaman

Makan Tomat di Hadapan 2.000 Orang

Saat itu, Robert Gibbon Johnson  yang dikenal sebagai Kolonel Johnson, seorang petani yang marah karena hasil panennya tak laku, memanjat tangga gedung pengadilan di Salem, Massachusetts, Amerika Serikat.

"Ia melahap seember penuh tomat tanpa mengalami efek samping" demikian dikutip dari situs Famous Daily, Senin (27/6/2016).

Pagi itu, Sang Kolonel berdiri di hadapan sekitar 2.000 warga yang menyemut.

"Demi menghilangkan mitos dan dongeng fantastis yang telah Anda dengar... Dan untuk membuktikan tomat tidak beracun, aku akan makan satu sekarang...," kata dia seperti ditulis dalam The Story of Robert Gibbon Johnson and the Tomato, Salem County Historical Society.

Tak ada yang bersuara saat Kolonel Johnson mendekatkan tomat ke mulutnya dan menggigit bulatan merah penuh air itu. Mata semua orang terbelalak, deg-degan.

Kolonel Johnson mematahkan mitor bahwa tomat beracun (Wikipedia)

Seorang perempuan di tengah kerumunan berteriak histeris, lalu pingsan. Namun, mata warga terpaku ke arah Sang Kolonel yang kembali makan satu demi satu tomat hingga habis sekeranjang.

Orang-orang pun bersorak. "Ia melakukannya," teriak mereka. "Dan dia masih hidup."

Aksi Sang Kolonel berhasil. Orang-orang akhirnya tahu, tomat tidak 'berdosa'.

Warga Amerika Serikat, kemudian Inggris kemudian memberanikan diri dan menikmati tomat yang kaya kandungan jus dan nutrisi itu.

Di Italia, tomat bahkan dijadikan taburan piza. Kala itu, sebuah restaurateur atau restoran di Naples ingin membuat hidangan istimewa yang baru, sebagai penghormatan untuk Ratu Margarite.

Taburan piza terdiri atas tiga warna sesuai dengan bendera Italia. Putih diwakili keju mozarella, hijau dari daun bassil, dan merah dari saus tomat. Piza margarite hingga kini bertahan menjadi hidangan favorit.

Selain tomat yang terbukti tak beracun, tanggal 28 Juni diwarnai sejumlah kejadian menarik.

Pada  28 Juni 1914, sebuah tragedi terjadi, putra mahkota Austria-Hungaria Archduke Franz Ferdinand dan istrinya Sophie dibunuh saat berkunjung ke Sarajevo, ibukota Bosnia. 

Archduke Franz Ferdinand

Pembunuhan tersebut menjadi casus belli, pemicu sebuah perang dahsyat, yang menyebarkan malapetaka hingga penjuru Bumi. Dua aliansi besar, Entente Powers -- Inggris, Prancis, Serbia, dan Kekaisaran Rusia (selanjutnya Italia, Yunani, Portugis, Rumania, dan Amerika Serikat ikut bergabung) -- bertempur melawan Central Powers -- Jerman dan Austria-Hungaria (selanjutnya Turki Ottoman dan Bulgaria ikut bergabung).

Jutaan nyawa melayang. Sejarah dunia berubah, empat dinasti -- Habsburg, Romanov, Ottoman, dan Hohenzollern, yang memiliki akar kekuasaan sejak zaman Perang Salib, seluruhnya jatuh setelah perang. Tinggal nama.

Ada yang menyebutnya sebagai 'Perang Besar' (The Great War), "Perang untuk Mengakhiri Semua Perang" (The War to End All Wars). Kini, sejarawan menyederhanakan istilahnya menjadi Perang Dunia I.

Selain itu, pada 1997, petinju Amerika Serikat, Mike Tyson, didiskualifikasi oleh WBA karena menggigit telinga Evander Holyfield ketika pertandingan baru berlangsung 3 ronde.

Saksikan juga video iblis Valak dalam Weekly Highlights berikut ini:

**Ingin mendapatkan informasi terbaru tentang Ramadan, bisa dibaca di sini.