Sukses

Kisah Para Bocah Perempuan yang 'Ditukar' dengan Mahar Perkawinan

Di Yaman, perang menjadikan para bocah perempuan sebagai komoditas demi menyambung hidup keluarga mereka.

Liputan6.com, Sanaa - Perang memuaskan dahaga mereka yang menginginkannya, namun memorak-porandakan kehidupan orang-orang tak bersalah. Salah satunya, seorang bocah perempuan bernama Fayrouz Ahmed Haider.

Di usianya yang masih belia, 11 tahun, ia seharusnya tengah asyik bermain bersama teman-teman sebaya atau bercengkerama di tengah keluarga. Namun faktanya, bocah itu sudah dinikahkan dengan seorang pemuda berusia 25 tahun.

Tujuh hari setelah dinikahkan, Fayrouz memutuskan kabur. Ia menolak paksaan sang suami untuk berhubungan intim.

"Akan jauh lebih baik jika pernikahan saya ditunda," ujar bocah itu seperti dilansir The Washington Post, Kamis (7/7/2016).

Fayrouz mengaku, di hari pernikahannya ia merasa senang karena menjadi pusat perhatian. Namun ia ketakutan ketika dipaksa melakukan hubungan suami istri.

"Dia (Suami Fayrouz) ingin tidur denganku. Namun aku lari dengan cepat. Aku menghubungi ayahku dan beliau segera menelepon kakek," cerita bocah perempuan itu.

Kini, Fayrouz telah berada bersama keluarganya di Khamer, namun statusnya masih terikat pernikahan. Orangtuanya mengaku tidak mampu mengembalikan mahar.

"Ia akan tinggal bersama kami sampai mencapai pubertas. Mertuanya mengatakan hanya akan membayar sisa mahar senilai US$ 400 atau setara dengan Rp 5,2 juta setelah ia kembali pada suaminya," jelas sang ayah.

Ibu Fayrouz disebut membutuhkan transfusi darah. Keluarga itu bahkan telah menjual barang-barang milik mereka setelah berhasil melarikan diri dari serangan udara membombardir Kota Saada, Yaman pada 2015 lalu.

Namun hasil penjualan itu tidak pernah cukup untuk membayar hutang mereka ke rumah sakit dan sejumlah kerabat. Maka putri kecil mereka dinilai menjadi satu-satunya 'sumber penghasilan'.

"Kami membutuhkan uang dari mas kawin," ujar sang ayah, Ahmed Haider Sayed.

Kurang lebih dua tahun lalu, kehidupan Fayrouz cukup baik. Ia mendapat pendidikan sementara sang ayah bekerja sebagai buruh.

Kondisi berubah setelah rumah mereka dihantam bom. Bersama keluarganya, bocah perempuan itu melarikan diri ke Khamer, sebuah kota yang juga menjadi tujuan bagi pengungsi lainnya.

Bocah yang Dipaksa Menjadi Pengantin

Kondisi kamp pengungsi di Khamer, Yaman (The Washington Post)

Yaman sendiri telah lebih dulu mengalami krisis kemanusiaan jauh sebelum perang terjadi. Dan pertumpahan darah semakin memperparah situasi negeri itu di mana sejumlah keluarga mulai mengirimkan anak-anak mereka untuk mengemis ke pusat kota.

Terdesak tuntutan hidup, anak perempuan pun dianggap sebagai komoditas.

Belum lama ini, delapan tetua masyarakat berkumpul di sebuah tenda. Beberapa dari mereka mengunyah khat, daun yang berdampak halusinasi dan menjadi favorit lelaki Yaman.

Tujuh dari tetua itu mengaku telah menikahkan bocah perempuan mereka pada tahun ini. Bahkan seorang ayah yang bekerja di sebuah badan amal, Salim, mengaku tengah mempersiapkan pernikahan kedua putrinya yang berusia 13 dan 14 tahun.

"Saya hanya ingin menjamin masa depan mereka, jika hanya untuk alasan ekonomi," ujar Salim.

Sementara itu, seorang lainnya yang bernama Mohammad Ali al-Ansi mengatakan dua anak perempuannya yang berusia 13 dan 14 tahun telah ia nikahkan pada April lalu.

"Hati berdarah di dalam, tapi saya terpaksa melakukan ini. Saya tidak memiliki pekerjaan. Sulit menghidupi 10 anak," sebut al-Ansi.

Atas pernikahan tersebut, ia mendapatkan mahar senilai US$ 1,600 atau setara dengan Rp 21 juta untuk setiap anak perempuannya. Namun al-Ansi mengaku uang tersebut tak bertahan lama, habis untuk membayar utang.

"Jika hal buruk terjadi, saya tidak ragu untuk menikahkan anak perempuan lainnya yang berusia 12 tahun," imbuh dia.

Pernikahan anak telah lama menjadi isu krusial di Yaman. Sebagian besar terjadi karena didorong oleh kemiskinan, namun ada pula atas alasan tradisi lama layaknya di sejumlah belahan dunia lainnya.

Yang berbeda adalah, sebelum perang saudara pecah di Yaman, para aktivis lokal dan internasional nyaris berhasil menekan angka pernikahan anak. Mereka sukses mengampanyekan pentingnya pendidikan bagi anak perempuan serta usia mininum untuk menikah adalah 18 tahun.

Namun perang membuat perjuangan para aktivis itu terhenti. Saat ini pernikahan anak kembali marak terjadi dengan alasan untuk membantu menopang ekonomi keluarga.

"Para ayah memiliki pandangan jika ada putri mereka yang mendekati masa-masa puber, maka harus segera dinikahkan demi mengurangi beban finansial," jelas Direktur organisasi nirlaba yang fokus melindungi anak (SEYAJ), Ahmad al-Qurashi.