Sukses

Mata-Mata Soviet Ini Kirimkan Pesan Rahasia Lewat Kawat Jemuran

Seorang perempuan yang merupakan mata-mata Soviet di era Perang Dingin memanfaatkan kawat jemuran untuk menjalankan misi rahasianya.

Liputan6.com, London - Suatu hari di musim panas, seorang wanita muda necis dengan senyum lebar menghiasi wajahnya menuntun sepeda di jalur pedesaan Oxfordshire. Tampak berjalan di sampingnya, seorang pria bermata cokelat dalam kondisi gugup.

Meski 'intim', namun dalam dunia nyata keduanya bukanlah sepasang kekasih. Mereka adalah pasangan mata-mata paling penting di era Perang Dingin, melayani rezim Stalin dengan mengirimkan rahasia vital nuklir Inggris ke Moskow.

Sang perempuan diketahui memiliki nama Ursula Kuczynski dengan kode samaran, Sonya. Seperti dilansir Daily Mail, Minggu (10/7/2016) Sonya yang merupakan anggota GRU --intelijen militer Uni Soviet-- berperan penting dalam mengirimkan rahasia vital nuklir Inggris ke Moskow, dan ia memanfaatkan kawat jemuran yang telah dimodifikasi dalam menjalankan misinya itu.

Sementara pria yang bersamanya adalah Klaus Fuchs, imigran Jerman yang merupakan seorang ahli fisika berbakat. Ia bekerja pada proyek Tube Alloys, nama kode penelitian dan pengembangan program klandestin yang disahkan oleh Inggris, di mana Kanada ikut berpartisipasi mengembangkan senjata nuklir selama PD II.

'Asmara' Sonya dan Fuchs tak lain merupakan upaya penyamaran dalam menjalankan misi rahasia mereka. Sonya sendiri sudah memiliki suami, pria kelahiran Inggris yang juga melayani kepentingan Moskow, Len.

Tube Alloys akan menjadi acuan Proyek Manhattan di Los Alamos, New Mexico, di mana pengembangan senjata nuklir pertama dilakukan. Bocoran informasi yang dikirimkan Fuchs ke Uni Soviet telah menjadi batu loncatan bagi Soviet untuk mengembangkan program nuklirnya.

Informasi terbaru yang didapat dari M15 dan dokumen Jerman Timur menyebutkan, baik sebelum atau sesudah perang, banyak rahasia nuklir Inggris yang telah dibocorkan Fuchs. Sementara Sonya bertindak sebagai pengawas.

Reputasi layanan keamanan Inggris pun semakin terpukul ketika sebuah fakta baru terkuak. Unit intelijen Inggris, M15 ternyata telah diingatkan untuk mewaspadai bahaya yang datang dari pergerakan Sonya dan sang kakak, Jurgen, namun mereka gagal mengantisipasinya.

Sebuah bangunan modern dengan nuansa putih yang terletak di Hampstead, bagian utara London, Isokon dikenal juga dengan Flat Lawn Road, menjadi saksi aktivitas intelijen mata-mata Rusia, termasuk kakak Sonya, Jurgen Kuczynski. Pada periode 1930-an hingga 1950-an, terdapat lebih dari 20 mata-mata dan informan yang hidup atau berkunjung ke gedung itu.

Cerita di Isokon diawali dengan kedatangan Jurgen pada 1933. Ia merupakan buangan dari Nazi Jerman.

"Tidak diragukan lagi, Jurgen tiba di Inggris dengan misi untuk 'membangun jaringan'. Dalam hal ini dia dibantu adiknya, Sonya," ujar Sejarawan dari Cambridge, David Burke.

Sonya dilaporkan telah belajar menjadi mata-mata terkait bahan peledak dan penyamaran di Manchuria. Lalu ia pindah ke Oxford, dekat dengan badan penelitian atom di Harwell sebelum akhirnya bermukim di desa Great Rollright, di dekat Chipping Norton.

Arsip Soviet telah mengonfirmasi bahwa Jurgenlah yang mengenalkan Fuchs pada Sonya. Keduanya dijadwalkan untuk bertemu dan berjalan-jalan, layaknya mereka yang tengah mabuk asmara.

Setelah mendapat informasi dari Fuchs, perempuan itu akan mengirimkannya ke Moskow melalui peralatan radio yang cukup rumit yang tersambung melalui kawat jemuran di kediamannya.

Pergerakan mata-mata yang dijalankan oleh Sonya sebenarnya sudah tercium oleh Kepolisian Oxford City setelah mereka mendeteksi adanya aktivitas nirkabel tak wajar --dilarang di masa perang-- pada 1943 di kediaman Sonya. Mereka segera melaporkan ke M15, namun tak ada penyelidikan lebih lanjut atas laporan itu.

Fuchs ditangkap pada akhir 1949, lalu pada Januari 1950 ia diadili dan divonis sembilan tahun penjara. Namun tak lama ia diizinkan pindah ke Berlin Timur.

Sementara sehari sebelum sidangnya, Sonya melarikan diri ke Berlin Timur, di mana untuk kelima kalinya ia berganti nama menjadi Ruth Werner. Hal yang sama juga dilakukan Jurgen.

Dalam sebuah pernyataannya di hadapan parlemen Inggris, Perdana Menteri Inggris saat itu Clement Attlee menggambarkan kasus Fuchs sebagai, 'insiden yang paling menyedihkan dan sangat disesali'. Namun di sisi lain ia juga menambahkan 'tidak ada bukti perbuatan keliru dari M15'.