Sukses

Bajak Informasi Militer, Pengusaha China Dibui AS 4 Tahun

Su Bin mengakui perbuatannya dan mengatakan mencari keuntungan pribadi dari hasil persengkokolan tersebut.

Liputan6.com, Los Angeles - Seorang pengusaha China dinyatakan bersalah karena telah membajak (hack) informasi sensitif militer AS. Ia divonis hukuman penjara selama hampir empat tahun.

Menurut laporan yang dikutip dari BBC, Kamis (14/7/2016), pelaku bernama Su Bin, mengaku bersekongkol dengan militer china, untuk mencuri data antara tahun 2008 dan 2014 dari perusahaan pertahanan AS.

Selain hukuman empat tahun penjara, pembajak (hacker) yang juga dikenal dengan nama Stephen Subin itu juga dikenakan denda sebanyak US$ 10 ribu atau setara dengan Rp 131 juta.

Su yang menjalankan perusahaan aviasi dan kedirgantaraan, ditangkap di Canada pada 2014. Ia  diserahkan pada pihak berwajib AS untuk ditindak lanjuti pada February 2016.

"Hukuman yang diterima Su Bin merupakan ganjaran yang diterima, karena mengakui perannya berkonspirasi dengan pembajak dari kelompok People's Liberation Army Air Force. Dia dijatuhi hukuman karena mengakses data secara ilegal dan mencuri informasi militer yang sensitif," beber asisten Jaksa Agung, John Carlin.

"Hacker militer China menjadi dalang di balik pembajakan dan pencurian desain pesawat militer mutakhir yang sangat penting bagi pertahanan negara," jelas John.

Sementara itu, pemerintah China terus membantah keterlibatan mereka dalam peretasan informasi perusahaan atau pemerintah asing tersebut.

Keuntungan Finansial

Su dinyatakan bersalah atas tuduhan persekongkolan yang dilakukannya, untuk mendapatkan akses tidak sah ke komputer yang dilindungi dan melanggar kode Arms Export Control Act.

Pria itu mengaku melakukan konspirasi dengan para pembajak untuk memperoleh keuntungan pribadi. Dia juga mengklaim menyampaikan informasi kepada hacker China, tentang orang, perusahaan, dan teknologi mana yang bisa menjadi target.

Su Bin juga dinyatakan bersalah karena telah menerjemahkan materi curian tersebut ke dalam bahasa China. Peretasan informasi itu menargetkan data terkait pesawat angkutan dan jet tempur yang pernah ditawarkan, untuk dijual kepada perusahaan China.

Pengacara pria 51 tahun itu menyatakan, kliennya meminta maaf yang sebesar-besarnya atas perbuatannya.

Selama beberapa waktu belakangan, China dan AS terlibat argumen saling tuduh, tentang siapa dalang di balik serangan cyber yang mereka alami.

Sebelumnya pada 2015, China menangkap sekelompok hacker berdasarkan informasi dari pemerintah AS mengenai tersangka kejahatan dunia maya atau cybercrime terkait tuduhan pencurian informasi penelitian dan pengembangan.