Liputan6.com, Washington DC - Rusia diyakini berada di balik bocornya hampir 20 ribu e-mail (surat elektronik) petinggi Partai Demokrat lewat Wikileaks. Sejumlah pejabat badan intelijen Amerika Serikat menduga para peretas Negeri Beruang Merah meninggalkan sidik jari digital.
Tujuannya, diduga untuk menunjukkan bahwa Moskow adalah cyberpower--sebuah hal yang wajib dihormati Washington.
Tiga pejabat tersebut, yang bicara dalam kondisi anonim, mengatakan peretasan terhadap Komite Nasional Partai Demokrat (DNC) kurang canggih daripada penyusupan dunia maya lain yang terlacak sumbernya ke badan-badan intelijen atau organisasi kriminal Rusia.
Misalnya, menurut salah satu pejabat, mengatakan para peretas (hacker) menggunakan sejumlah karakter Cyrillic. Aksi itu dilakukan selama jam kerja di Rusia.
Peretasan, kata dia, berhenti saat hari libur nasional maupun keagamaan di Rusia.
"Entah apakah orang-orang itu sangat ceroboh. Namun tak jelas bagaimana mereka bisa melakukannya tanpa terdeteksi -- atau mereka sengaja ingin menunjukkan diri," kata pejabat tersebut seperti dikutip dari Reuters, Kamis (28/7/2016).
Sementara itu, ahli keamanan maya swasta percaya bahwa bukti yang ada jelas mengarah pada para peretas Rusia. Namun, ia menolak gagasan bahwa mereka sengaja meninggalkan bukti.
Para ahli tersebut, yang mengaku telah meneliti soal peretasan itu secara rinci, mengatakan karakter Cyrillic terkubur dalam metadata dan dalam pesan yang rusak.
Peretasan yang dilakukan Rusia biasanya lebih sulit daripada apa yang dilakukan Tiongkok. Namun, bukan berarti tak mungkin untuk diuraikan.
Apalagi, dalam dua tahun terakhir Rusia kian agresif dan lebih mudah terdeteksi, terutama ketika mereka mencoba untuk bergerak lebih cepat.
Dua kelompok peretas yang terlibat mahir menyembunyikan aksi mereka, demikian diungkapkan Laura Galante, kepala intelijen ancaman global di FireEye, yang anak perusahaannya Madiant melakukan analisis forensik terkait serangan maya tersebut--yang menguatkan temuan perusahaan lain, CrowdStrike.
Namun, pejabat Rusia membantah dugaan keterlibatan Moskow. Si pejabat mengatakan bahwa tuduhan itu absurd.
"Aku tak ingin mengucapkan kata yang terdiri dari 'empat huruf' itu." Hanya itu yang disampaikan Menteri Luar Negeri Rusia, Sergei Lavrov, saat menjawab pertanyaan reporter.
E-mail Memalukan
Partai Demokrat tentu saja menjadi pihak yang paling dirugikan atas kebocoran tersebut. Apalagi momentumnya berdekatan dengan persiapan untuk menetapkan Hillary Clinton sebagai calon presiden untuk menghadapi Donald Trump pada pilpres yang akan digelar pada 8 November 2016 mendatang.
Ketua DNC, Debbie Wasserman Schultz, mengundurkan diri setelah e-mail-e-mail yang bocor menunjukkan bagaimana para petinggi partai berat sebelah ke Hillary Clinton, daripada kepada rivalnya Bernie Sanders.
Padahal, komite tersebut seharusnya netral.
Para pejabat intelijen AS menduga, tujuan Rusia mungkin lebih besar daripada sekedar merusak kampanye Clinton.
Presiden AS Barack Obama juga angkat bicara soal peretasan itu. "Semua memungkinkan," ujar Obama merespons apakah ada pengaruh Rusia dalam kontes persaingan antara Trump dan Hillary, seperti dilansir dari CNN.
"Begini, Donald Trump berulang kali mengungkapkan kekagumannya pada Vladimir Putin. Dan saya pikir, Trump mendapat dukungan liputan media yang luar biasa di Rusia," kata Obama dalam wawancara dengan NBC News.
Bukan tanpa alasan "tuduhan"Â Obama dilayangkan kepada orang nomor satu di Rusia itu untuk menggiring kandidat pilihannya menuju Gedung Putih.
"Yang kami tahu... adalah Rusia telah meretas sistem kami. Tak hanya milik pemerintah, tapi juga milik swasta," kata Obama. Kendati demikian, ia tak bisa mengidentifikasi maksud dari serangan siber itu.
Komentar teranyar dari Presiden Obama adalah hal paling jauh yang dilakukan oleh pemerintah AS secara terang-terangan "menyalahkan" Rusia yang telah melakukan serangan maya ke AS.
'Sidik Jari' Rusia pada Peretasan E-mail Petinggi Demokrat AS
Rusia diyakini berada di balik bocornya hampir 20 ribu e-mail petinggi Partai Demokrat lewat Wikileaks.
Advertisement