Liputan6.com, Waziristan - Kisah yang dimiliki Rafeequl Rehman, seorang guru di Pakistan, tidak terlalu berbeda dengan anak lainnya di luar sana yang kehilangan ibu mereka.
Hanya saja, Rehman kehilangan perempuan yang sangat dicintainya itu bukan karena sang ibu, Mamana Bibi, sakit atau sudah renta, melainkan akibat serangan drone AS.
Baca Juga
Pria itu tidak mengerti, mengapa ibunya dibunuh secara kejam dan tanpa belas kasihan. Dia terus bertanya-tanya dan menunggu penjelasan dari pemerintah AS.
Advertisement
"Sejak drone AS itu menembak ibuku yang sedang berada di halaman rumah, aku masih menunggu kejelasan atau permintaan maaf dari pemerintah AS," kata Rehman seperti dikutip dari Time, Kamis (28/7/2016).
Insiden nahas tersebut terjadi pada Oktober 2012. Pada siang hari itu Rehman mengadakan acara keluarga di kampungnya di Ghundi Kala, Waziristan Utara.
Sang ibu, Bibi, berada di halaman mengambil tanaman okra (kerap disebut barnia atau jari wanita) untuk dimasak menjadi sayur.
Tak lama kemudian, sebuah drone menyerang Bibi, menggunakan dua misil Hellfire. Tubuh perempuan itu pun hancur.
Sekitar 100 meter dari sang ibu, anak-anak Rehman berdiri di dalam rumah, menyaksikan nenek mereka dibunuh dengan kejam.
"Putra putriku merasakan gelombang kejut ledakan dan diselimuti kabut asap, beberapa bahkan terkena serpihan meriam. Putraku, Safdar (3), terjatuh dari ketinggian 3 meter, membuat tulang bahu dan dadanya patah," kata Rehman.
Setelah ledakan, putrinya Nabeela (8) berlari ke arah sang nenek berdiri dan hanya menemukan sepatu Bibi di sana.
Setelah merasa aman, semua anggota keluarga berusaha mengumpulkan sisa-sisa bagian tubuh perempuan yang mereka cintai itu dan membungkusnya dengan baju.
Setelah insiden nahas tersebut, Rehman bersama anak-anaknya pindah ke Waziristian.
"Anak-anakku tidak hanya sedih karena kehilangan nenek mereka, tapi juga teman dan pendidik. Mereka juga sangat ketakutan kembali ke kampung, bukan hanya serangan drone yang mereka takutkan, tapi juga Taliban dan bom pasukan Pakistan," ujar ayah itu.
Setahun berlalu setelah penyerangan drone tersebut, Rehman berkunjung ke AS. Ia melaporkan serangan tersebut kepada anggota Kongres.
"Aku bisa lihat keprihatinan mereka, namun tidak ada satu pun orang dalam pemerintahan AS berjanji untuk mencari tahu apa yang terjadi," kata Rehman.
Baru-baru ini, Presiden Barack Obama memerintahkan pemerintah untuk menyingkap jumlah korban sipil kepada publik.
Namun, tidak ada satupun dari pemerintah AS yang mengakui apa yang terjadi kepada ibu Rehman.
"Kami menyambut keputusan tersebut. Tapi aku dan keluarga masih sama seperti 4 tahun lalu. Tak ada yang mengakui apa yang terjadi kepada ibuku atau minta maaf," ujar Rehman lirih.
Sementara Rehman dan keluarganya berada dalam kebingungan, Obama mengundang activis remaja pejuang pendidikan, Malala Yousafzai, berbicara di Gedung Putih.
"Kami kagum dengan keberanian Malala menyelamatkan dirinya dari Taliban. Tapi, saat presiden itu memberikan dukungan kepada Malala, aku penasaran apakah dia tahu siapa nama putriku," ujar Rehman.
"Kami tidak meminta imbalan uang atau apapun. Anak-anakku kehilangan nenek mereka di depan mata, aku kehilangan ibuku. Kami berhak tahu apa yang terjadi dan mengapa," kata anak Bibi itu.
Rehman dan keluarganya beranggapan bahwa pemerintah AS berlaku tidak adil. Mereka berhak mendapatkan permintaan maaf dan keadilan atas insiden yang terjadi Oktober siang itu.