Sukses

Kisah Perempuan yang Mengiris Payudara untuk Memprotes Pajak

Nangeli berasal dari kasta rendah di India. Ia melakukan tindakan nekat untuk memprotes aturan pajak diskriminatif.

Liputan6.com, Kerala - Nangeli -- nama itu nyaris tak dikenal di India. Seorang seniman, Murali T menemukannya secara tak sengaja saat membolak-balik majalah terbitan bank lokal, empat tahun lalu.

Pria itu terkesima dengan artikel pendek, yang mengisahkan kehidupan Nangeli. Perempuan dari kasta rendah itu melakukan pengorbanan luar biasa: mengiris payudaranya untuk memprotes 'pajak buah dada' yang diskriminatif.

Penulisnya adalah warga kota yang menjadi kampung halaman Nangeli, Cherthala.

Merasa tertarik dengan kisah tersebut, Murali pergi ke kota kecil itu.

"Saya menghabiskan banyak waktu untuk bercengkerama dengan warga Cherthala dan akhirnya bahkan menemukan kampung di mana Nangeli tinggal sekitar 100 tahun lalu," kata Murali kepada BBC, seperti dikutip Liputan6.com, Kamis (28/7/2016).

Ia menambahkan, "Wilayah itu disebut Mulachhipuram -- tanah seorang perempuan dengan payudara -- nama yang dipilih untuk mengingat pengorbanan besar Nangeli." 

Namun, kisah Nageli -- yang dikenang penuh cinta oleh warga desanya -- tak diakui dalam sejarah India.

Murali ingin mendokumentasikan perlawanan perempuan tersebut agar diakui, setidaknya oleh pemerintah negara bagian Kerala.

Pajak Buah Dada

Pajak payudara diberlakukan oleh raja di Travancore -- salah satu dari 550 kerajaan yang ada pada masa pendudukan Inggris.

Para perempuan dari kasta yang lebih rendah dilarang keras menutup dada mereka. Telanjang dada. Jika melakukan sebaliknya, niscaya pajak besar akan dikenakan.

"Tujuan dari pajak buah dada tersebut adalah untuk mempertahankan struktur kasta," kata Dr Sheeba KM, associate professor ekologi gender dan studi Dalit dari Shri Shankaracharya Sanskrit Vishwavidyalaya di Kerala.

Norma sosial kala itu, model pakaian dibuat berdasarkan status kasta. 'Derajat' seseorang bisa diidentifikasi hanya dengan melihat bagaimana mereka berpakaian.

Nangeli bagian dari masyarakat  Ezhava -- itu mengapa ia menjadi subjek pajak, bersama dengan kasta-kasta lain yang dianggap 'kelas bawah' seperti  Thia, Nadar, dan Dalit.

Namun, menurut penduduk desa, Nangeli memutuskan untuk melawan aturan diskriminatif itu. Ia ogah membayar pajak -- sebuah hal yang luar biasa nekat dilakukan seorang perempuan dari kasta rendah pada awal 1900-an.

"Ketika inspektur pajak mendengarnya menolak membayar pajak, ia meminta Nangeli berhenti melanggar peraturan. Namun perempuan itu bergeming. Sebagai bentuk protes, ia mengiris buah dadanya," kata Mohanan Narayan, seorang pengendara becak.

Menurut keterangan warga desa, Nangeli tewas akibat kehilangan darah yang berlebihan. Sementara, suaminya yang berduka terjun ke api pembakaran jenazah perempuan itu. Ia memilih mati bunuh diri. Pasangan itu tak dikaruniai anak.

Pengakuan

Setelah kematian Nangeli, keluarga besarnya pindah ke dari Mulachhipuram ke desa dan dusun terdekat.

Maniyan Velu, yang masih punya hubungan darah dengan Nangeli, mengaku kecewa, kisah perempuan pemberani itu tak diketahui secara luas.

"Tindakannya tanpa pamrih. Pengorbanan yang membuahkan manfaat bagi perempuan di Travancore -- karena memaksa raja untuk membatalkan aturan tersebut," kata Maniyan.

Maniyan, pria sepuh itu tak punya tanah. Anak-anaknya terpaksa jadi buruh tani. Namun, ia tak meminta belas kasihan, hanya ingin nenek moyangnya mendapat pengakuan.

"Kami merasa bangga punya hubungan darah dengannya. Kami ingin lebih banyak orang mengetahui tentang pengorbanannya. Namanya layak dikenang, setidaknya diakui sebagai bagian sejarah daerah ini."

Sang seniman, Murali T berharap bisa mewujudkan hal itu. Ia membuat lukisan yang menggambarkan  protes berdarah yang dilakukan Nangeli.

"Saya tak sedang menonjolkannya sebagai peristiwa berdarah. Tujuanku adalah untuk memuliakan tindakannya sebagai inspirasi bagi kemanusiaan."

Yang dilakukan Nangeli adalah simbol perlawanan dari kaum tak berdaya terhadap penguasa lalim. Sebuah penentangan terhadap aturan diskriminatif yang 'tidak memanusiakan' manusia.

Tiga karya Murali yang menggambarkan tindakan nekat Nangeli kini dipublikasikan dalam bukunya, Amana - The Hidden Pictures of History.

Ia juga menggelar 15 pameran di seantero Kerala, India. Murali juga berencana memajang karyanya di ruang terbuka di Cherthala.

"Jika aku bisa menarik banyak pengunjung, itu mungkin akan membantu meyakinkan pemerintah untuk mengakui tindakan perlawanan itu sebagai bagian dari sejarah."