Sukses

Donald Trump Ajak Rusia untuk Retas Email Hillary Clinton

Komentar itu membuat geram direktur CIA --yang juga pendukung Hillary Clinton-- karena dianggap membahayakan keamanan nasional.

Liputan6.com, Florida - Donald Trump kembali memberikan pernyataan kontroversialnya. Kali ini ia menantang dan mengundang intel Rusia untuk mencari 30.000 email Hillary Clinton yang telah dihapus. Hal itu ia kemukakan setelah tuduhan Demokrat kalau miliader nyentrik itu ada 'main mata' dengan Presiden Vladimir Putin.

"Rusia, kalau Anda mendengar ini, saya berharap Anda mampu mencari 30.000 email yang hilang. Saya percaya Anda akan mendapat penghargaan dari media kami," ujar Trump dalam konferensi persnya di Florida seperti dilansir dari CNN, Jumat (28/7/2016).

Email yang dimaksud adalah surel dari server pribadi yang digunakan oleh Hillary untuk menjalankan kerjanya saat menjadi menteri luar negeri. Setelah masa jabatannya berakhir, nominasi capres AS dari Partai Demokrat itu tetap menyimpannya dan tidak menyerahkan kepada kemlu.

"Mereka (Rusia) mungkin punya 30.000 email. Saya harap mereka punya. Mereka mungkin punya 30.000 email Hillary yang ia hilangkan dan hapus karena di dalamnya ada berbagai informasi 'cantik'. Kita lihat saja nanti," kata Trump lagi.

Komentar pebisnis tajir itu sontak membuat kemarahaan di Konvensi Nasional Demokrat (DNC) yang tengah berlangsung di Philadelphia. Selain itu pernyataan Trump juga dianggap membahayakan keamanan nasional dan konspirasi.

"Komentar itu sungguh tak bertanggung jawab apalagi di tengah-tengah konvensi, meminta Rusia untuk intervensi politik Amerika," kata Leon Panetta, Direktur CIA.

Perkembangan baru terkait email dan campur tangan Rusia makin memperkeruh 'drama' ala Perang Dingin yang mendera konvensi Demokrat setelah sebelumnnya terjadi kebocoran email petinggi partai di WikiLeaks. Salah satu email memperlihatkan adanya rencana untuk 'melawan' pendukung Bernie Sanders.

Pemerintah AS tidak terlalu curiga kalau Moskow berada di balik peretas email dari server DNC.

Namun, dalam komentar Trump, ia bahkan secara terbuka meminta Moskow untuk meretas sistem AS untuk mencari email yang hilang itu.

"Mereka pasti punya, saya ingin mereka meretas dan membocorkannya. Sekarang, kalau Rusia atau China atau negara lain yang memiliki email-email itu, jujur, saya ingin melihatnya," lanjutnya.

Namun, sehari sebelum komentar undangan ini menyeruak, tim kampanye Trump justru menolak klaim kalau bosnya itu mengundang Rusia untuk meretas email Hillary.

"Kandidat kami tak melakukan hal itu, yang ia maksud hanya 'meminta' negara lain (untuk menyerahkan hasil retasan) iya benar. Tapi mengundang? Itu terlalu jauh dan sangat konyol kalau ia sampai mengundang negara lain untuk meretas email kandidat presiden AS," kata Steven Cheung.

Kubu Hillary juga turut mengomentari pernyataan Trump yang mendorong Rusia terlibat dalam pelacakan 30.000 email yang hilang itu.

"Ini menjadi kali pertama, seorang capres secara aktif mendorong kekuatan asing untuk melakukan spionase terhadap lawan politiknya. Ini telah merubah rasa ingin tahu dan sebuah persoalan politik menjadi isu keamanan nasional," tegas Jake Sullivan, penasihat kebijakan senior Hillary.

Juru bicara Kremlin, Dmitry Peskov mengatakan, Presiden Vladimir Putin telah mengatakan berkali-kali bahwa Rusia tidak akan mengganggu dan ikut campur dalam urusan internal negara lain, terutama dalam proses pemilu.