Liputan6.com, Cilacap - Pada Kamis malam, 28 Juli 2016, jam-jam terakhir jelang eksekusi mati, sosok pria sepuh tiba di Dermaga Wijayapura, dengan dikawal aparat Brimob.
Charles Patrict Edward Burrows, nama dia, bergegas menuju kapal yang akan membawanya ke Pulau Nusakambangan.
Di pulau berjuluk "Alcatraz Indonesia" itu, pemuka agama Katolik yang akrab dipanggil Romo Carolus tersebut akan mendampingi dua dari 14 terpidana mati yang rencananya akan dieksekusi pada Jumat dinihari--yang belakangan ternyata batal dilakukan.
Jaksa Agung Muda Pidana Umum Noor Rachmat mengonfirmasi bahwa hanya ada empat terpidana mati yang dieksekusi kala itu. Seorang WNI bernama Freddy Budiman dan tiga WNA, yakni Seck Osmane, Humphrey Jefferson Ejike Eleweke alias Doctor, dan Michael Titus Igwen bin Echere.
Romo Carolus mengaku tak bisa mewakilkan penderitaan mereka yang dieksekusi mati dengan kata-kata. Namun, ia tahu berapa lama waktu yang dibutuhkan hingga para terpidana untuk meninggal dunia.
"Yang pertama antara 7 sampai 8 menit. Ada juga yang sampai 15 menit, tapi belum meninggal," kata Romo Carolus, seperti dikutip dari ABC Australia, Jumat (29/7/2016).
"Saat itulah, kapten yang menanti dengan pistol di tangan bertindak, dengan menembak di bagian kepala."
Baca Juga
Advertisement
Romo Carolus pergi ke Nusakambangan bersama sejumlah pemuka agama lain. Mereka didatangkan ke lokasi penembakan. Sebab, tak ada waktu untuk bicara dengan para terpidana mati di dalam selnya.
Romo Carolus menceritakan, para pemuka agama lain mendampingi empat terpidana yang dieksekusi mati.
"Mereka diberi waktu beberapa menit untuk bicara kepada para terpidana mati, atau berusaha menenangkannya," kata dia.
"Kemudian mereka kembali pada saat para terpidana diikat ke tiang. Lalu, para pemuka agama kembali diberi waktu beberapa menit untuk mendekat," kata dia. "Tak lama kemudian mereka ditembak."
Menurut Romo Carolus, eksekusi mati berjalan cepat, namun traumatis baginya.
Di mata sang Romo, empat terpidana mati--yang ditutup matanya--menghadapi maut dengan bermartabat.
"Awalnya ada kemarahan yang menggelegak dalam diri mereka, namun itu tak terlihat malam itu," kata dia. "
"Tapi, pada akhirnya... mereka sadar akan mati. Yang terbaik yang bisa dilakukan adalah mencoba untuk mati secara bermartabat."
Bukan kali ini saja Romo Carolus mendampingi terpidana mati. Ia pernah membimbing Rodrigo Gularte, terpidana kasus narkoba asal Brasil pada 2015 lalu.
Tak hanya itu, Pastor Paroki Gereja Katolik, St Stephanus di Cilacap, Jawa Tengah, itu juga mendampingi dua terpidana mati narkoba asal Nigeria, Hansen Anthony Nwaolisa dan Samuel Iwuchukwu Okoye, yang dieksekusi mati pada 26 Juni 2008 lalu di Nusakambangan.