Liputan6.com, London - Kemunculan Presiden Rusia Vladimir Putin, capres dari Partai Republik AS Donald Trump, dikombinasikan dengan 'meledaknya' Brexit, dianggap sebagai sinyal peringatan akan adanya perang besar oleh seorang akademisi terkemuka Inggris, Tobias Stone.
Tobias, ahli arkeologi dan antropologi, berpendapat ada kesamaan mengerikan antara diktator menyeramkan yang berhasil mengakibatkan Perang Dunia I dan II, dengan politisi modern Vladimir Putin, Rubert Mugabe, dan Donald Trump.
Dikutip dari News.com.au, Minggu (31/7/2016), pakar tersebut menuliskan dalam sebuah artikel, yang dipublikasikan baru-baru ini, setidaknya Trump dan Putin telah menunjukkan bahwa mereka tidak segan-segan untuk meniup 'terompet peperangan'.
Advertisement
Donald Trump
"Trump mengatakan bahwa dia akan membuat AS menjadi 'besar' lagi. Faktanya, AS sekarang dalam keadaan jaya, berdasarkan tinjauan statistik," tulis Tobias.
Trump memang dikenal sebagai capres kontroversial AS yang terang-terangan menyebutkan keinginannya, kemarahannya, bahkan ambisinya untuk AS di masa depan.
Kelihaian capres tersebut dalam 'mengompori' pendukungnya, membuat dia berhasil membuat orang-orang yang berada di sekelilingnya memujanya.
"Dia (Trump) memainkan sebuah skenario melingkupi dunia," kata Tobias.
Vladimir Putin
Sementara itu, menurut Tobias, Presiden Putin merupakan bukti nyata pimpinan diktator. Dia menggunakan ketakutan, kekuasaan, dan gairah, untuk membuat dirinya dikelilingi pendukung.
"Rusia merupakan negara yang dipimpin oleh seorang diktator berkharisma. Menggunakan kekuasaan dan ketakutan untuk membuat pemimpin dipuja," tulis Tobias dalam artikelnya.
"Kini, bahkan Turki juga memiliki pemimpin seperti Putin. Di luar sana, Hungaria, Polandia, dan Slovakia, menunggu untuk mengepakkan sayap mereka menjadi seperti Putin dan Trump," kata dia.
Gabungan antara Trump, Putin, dan Brexit -- lanjut Tobias -- juga dapat memicu terjadinya Perang Dunia III dan perang nuklir.
Brexit, UE, dan NATO
Brexit
"Brexit dapat memicu perang nuklir. Lihat saja bagaimana Brexit mengakibatkan Italia atau Prancis memiliki referendum yang sama," tulis dia.
"Le Pen memenangkan pemilu Prancis. Sekarang Uni Eropa retak. UE telah mencegah terjadinya perang di Eropa, mereka juga berhasil menekan ambisi militer Putin," kata Tobias.
"Sangsi yang diberikan Eropa kepada Rusia berdampak pada perekonomian negara tersebut, membantu meredam serangan Rusia di Ukraina. Jika Trump menang di AS, dia akan menjadi seorang isolasionis yang melemahkan NATO. Dia bahkan telah mengatakan tidak menghargai komitmen NATO dalam menghadapi serangan Rusia di Baltik," jelas sang arkeolog.
Tobias juga menuliskan, dengan retaknya UE dan melemahnya NATO, Putin akan membutuhkan 'perhatian' dari negara asing untuk menghimpun rakyatnya.
"Putin mendanai aktivis anti-UE di Latvia, yang kemudian mengakibatkan pemberontakan dari Latvia Rusia, di bagian wilayah timur," ujar Tobias.
"Rusia kemudian mengirimkan 'penjaga kedamaian' dan truk bantuan ke Latvia, seperti yang pernah dilakukannya pada Georgia dan Ukraina. Dia (Putin), kemudian menggabungkan Timur Latvia, seperti dia menggabungkan Timur Ukraina," lanjut Tobias.
Tobias percaya, jika 'peringatan' ini diabaikan, akan memungkinkan sejarah terulang kembali. Dia yakin bahwa hal ini diakibatkan oleh kurangnya pengalaman dan pengetahuan yang dimiliki generasi muda.
"Intinya, kejadian ini akan terulang kembali. Manusia biasanya hanya memiliki 50-100 tahun pandangan sejarah, lalu berpikir hal tersebut tidak akan terjadi lagi," ujar Tobias.
Hal tersebut terjadi. Menurut Tobias, kebanyakan orang tidak menyangka perang akan terulang lagi setelah PD I dan II. Nyatanya, kini peperangan tersebut bisa dilihat dengan 'menghilangnya' satu per satu orang-orang yang khawatir akan Putin, Trump , dan Brexit.
Pakar antropologi itu juga melihat bahwa sejarah kembali terulang. Dia menyebutkan bahwa para pemimpin 'berkharisma' mengambil alih di tengah-tengah keputusasaan.
"Mereka memprovokasi tanpa memberikan detail yang cukup. Para pemimpin seperti Hitler, Mussolini, Stalin, Putin, dan Mugabe, mengontrol logika dan aksi pengikut mereka," tulis Stone.
Advertisement