Sukses

Ini Bukti AS dan Rusia Saling Ikut Campur dalam Pilpres?

Pertarungan Hillary dan Trump merebut Gedung Putih turut menyeret Rusia dalam pusaran perang kata-kata sekaligus membangkitkan cerita lama.

Liputan6.com, Jakarta - Calon presiden Amerika Serikat (AS) asal Partai Republik, Donald Trump, belum lama ini mengejutkan publik di Negeri Paman Sam menyusul permintaannya agar Rusia meretas dan merilis email milik Hillary Clinton dari server pribadi yang ia gunakan ketika menjabat sebagai menteri luar negeri.

Sebelumnya dalam penyelidikan FBI terungkap bahwa selama menjadi menlu, Hillary menggunakan server pribadi untuk berkirim email. Ada sekitar 30.000 email penting yang diduga telah dihapus -- misteri email 'hilang' inilah yang ingin dikuak Trump.

Miliarder berusia 70 tahun itu pun meyakini bahwa Rusia telah menyusup ke email Komite Nasional Partai Demokrat demi menyabotase kemenangan Hillary.

Insiden kebocoran email itu mengungkap bahwa ternyata ada upaya dari petinggi partai untuk menjegal Bernie Sanders, pesaing Hillary dalam pencapresan di Demokrat.

Ajakan Trump agar Rusia terlibat dalam upaya mengungkap skandal email Hillary ini menuai kecaman dari petinggi Demokrat. Mereka menilai, miliarder itu mengundang pemerintah asing --terlebih Rusia -- untuk 'mengganggu' jalannya pemilu presiden.

Namun, sekian banyak informasi yang dibocorkan oleh WikiLeaks selama bertahun-tahun telah mengajarkan bahwa campur tangan asing adalah 'bisnis global', praktik lazim yang juga kerap dilakukan AS.

Jika skandal email Hillary ternyata benar melibatkan Rusia maka ini bukan yang pertama kali. Salah satu kasus campur tangan yang cukup mencolok terjadi dalam kampanye pilpres Rusia pada 1996 yang pada akhirnya memenangkan mentor Presiden Vladimir Putin, Boris Yeltsin.

The Guardian, Kamis (4/8/2016) melansir, Yeltsin diduga secara rahasia membayar tiga konsultan politik AS untuk membantu kemenangannya dan mereka diduga mendapat bantuan langsung dari Presiden Bill Clinton. Bahkan sebuah film komedi berjudul Spinning Boris dirilis untuk mengisahkan hal itu.

Ketiga konsultan AS itu diketahui bernama Joe Shumate yang merupakan ahli analisis Partai Republik, George Gorton yang kelak menjadi manajer kampanye Arnold Schwarzenegger, dan Richard Dresner seorang konsultan politik yang populer di era 1980-an di mana ia juga membantu Bill Clinton terpilih sebagai gubernur Arkansas.

Dresner adalah orang dekat Dick Morris, penasihat politik Clinton di Gedung Putih yang pada 1996 membantunya dalam pilpres. Film Spinning Boris yang 'bernada' satire itu menggambarkan bagaimana penasihat Yeltsin tak mengerti alasan mengapa menurut konsultan asal AS itu capres harus 'beradegan' mencium bayi dan tersenyum ke arah kamera --perilaku yang lazim dilakukan capres di AS.

Lalu terdapat satu adegan di film itu, di mana Dresner bertemu Morris dan bertanya apakah Clinton bersedia mengulurkan tangan untuk membantu Yeltsin menuntun langkah pertama Rusia menuju demokrasi.

Dan pada 1996, Shumate, Gorton, dan Dresner yang asli serta seorang spesialis humas bernama Steven Moore melakukan wawancara eksklusif dengan majalah Time. Mereka bercerita tentang 'petualangan' bekerja sebagai konsultan politik di Rusia, termasuk di antaranya sejauh mana campur tangan Clinton.

Sumber dekat Yeltsin membantah keterlibatan tiga konsultan politik AS dalam pemilu 1966. "Ini omong kosong," ujar Sergei Filatov, mantan kepala staf Yeltsin pada 2003 lalu.

"Saya tidak pernah melihat mereka. Dan mereka tidak dibutuhkan sama sekali. Namun karena mereka telah dibayar maka kami putuskan untuk membiarkan mereka duduk diam di President Hotel dan tidak ikut campur," imbuhnya.

Terlepas dari bantahan yang dilontarkan Rusia, intervensi pihak luar dalam politik domestik sebuah negara sebenarnya bukan hal baru bahkan sudah berlangsung setua politik itu sendiri.

Video Terkini