Sukses

Rusia: Donald Trump Lebih Menyenangkan Dibanding Hillary Clinton

Selama kampanye pilpres AS, Donald Trump terdengar beberapa kali melontarkan pujian terhadap Presiden Putin.

Liputan6.com, Moskow - Kebanyakan warga Rusia lebih mendukung calon presiden Amerika Serikat (AS) asal Partai Republik, Donald Trump, dibanding rivalnya asal Partai Demokrat, Hillary Clinton. Alasannya karena Trump seorang pria, ia jauh lebih menyenangkan, dan sering bicara hal-hal baik tentang Rusia.

Sebuah jajak pendapat yang dilakukan All-Russian Center for Public Opinion pada Agustus ini menemukan bahwa 34 % responden meyakini akan terjadi peningkatan hubungan antara Rusia - AS jika Trump menang. Sementara hanya 6 % yang percaya hal itu akan terjadi jika Hillary yang menghuni Gedung Putih.

Seperti dilansir USA Today, Senin (8/8/2016) jajak pendapat juga menunjukkan terdapat 53 % responden yang meyakini bahwa hubungan kedua negara dapat memburuk jika Clinton terpilih. Dan 12 % lainnya merasa hal serupa justru ketika sang miliarder yang menjadi presiden.

"Hillary Clinton adalah konsentrasi tebal yang mengejutkan dari semua kejahatan yang ada di dunia ini," tulis seorang wartawan Rusia, Dmitry Olshansky di laman Facebook pada 23 Juli lalu.

"Berbeda dengan Hillary, kesederhanaan, lelucon kasar dan menyenangkan dari Trump layaknya angin segar," imbuhnya.

Konstantin Osokin, seorang guru musik juga mengarahkan dukungannya kepada sang miliarder.

"Untuk Rusia akan jauh lebih baik memiliki sesuatu yang baru ketimbang yang sudah usang. Kita tahu bahwa ketika menjabat sebagai menteri luar negeri AS, Hillary memimpin kebijakan untuk melemahkan Rusia dan menciptakan citra negatif. Trump adalah seorang pengusaha, jadi dia lebih pragmatis. Terlebih lagi dia seorang laki-laki," tegas Osokin.

Trump sebelumnya sempat melontarkan pujian terhadap Presiden Vladimir Putin dan dalam pernyataannya baru-baru ini ia mengatakan akan mengakui Krimea sebagai bagian dari Rusia. Ini ditengarai membuatnya disukai rakyat Rusia, seperti halnya Osokin.

"Jika Trump menjadi presiden saya pikir dia akan mampu menghindari kebijakan agresif yang disarankan oleh Kementerian Luar Negeri," kata Osokin.

Hubungan Negeri Paman Sam dan Negeri Beruang Merah diwarnai ketegangan tinggi sejak Rusia merampas dan menganeksasi Krimea dari Ukraina pada 2014 lalu. Tindakan yang oleh Presiden Barack Obama disebut ilegal dan belakangan AS menjatuhkan sanksi ekonomi sebagai pembalasannya.

Sikap Rusia, bentuk propaganda?

Sosiolog mengatakan, sikap pro-Trump ini kemungkinan hasil dari jajak pendapat yang dirilis media milik pemerintah.

"Propaganda negara cenderung memberikan pandangan yang menguntungkan bagi Trump, dan ini tercermin dalam opini publik. Itu karena Trump mengagumi Putin," ujar Lev Gudkov, kepala organisasi polling independen, Levada Center.

Selama berkampanye, Trump memang menunjukkan 'sikap manis' terhadap Rusia. Ia mengatakan akan menjalin hubungan baik dengan Putin bahkan menurutnya presiden Rusia itu benar-benar seorang pemimpin tak seperti Barack Obama.

Pujian Trump itu dibalas Putin. Ia menyebut Trump 'bersinar' dan 'berbakat'.

Hal berbeda terjadi dalam hubungan Hillary dan Putin. Selama menjabat sebagai menteri luar negeri para analis menilai sikap istri mantan Presiden Bill Clinton itu kerap membuat Kremlin 'gerah'.

Sebut saja seperti yang terjadi pada 2011 lalu. Putin menyalahkan Hillary karena telah ikut campur di politik dalam negeri Rusia dan membantu gerakan protes jalanan anti-pemerintah yang berlangsung pada musim dingin 2011 hingga 2012.

Tak hanya itu, belum lama ini ketegangan juga terjadi antara Putin dan Hillary. Pasalnya, intelijen AS menuding layanan keamanan Rusia telah meretas email milik Komite Nasional Partai Demokrat (DNC) demi menyabot kemenangan satu-satunya capres perempuan AS dalam sejarah negeri itu.

Di sisi lain, email itu menguak fakta baru bahwa DNC yang seharusnya netral selama pemilihan pendahuluan di Partai Demokrat ternyata mendukung Hillary dengan berusaha menjegal Bernie Sanders.

Alexander Konovalov, Presiden Institut Pengkajian Strategis yang berkantor di Rusia mengingatkan bahwa Trump berbahaya karena tidak dapat diprediksi. Ia merujuk pada salah satu pernyataan Trump yang menyebutkan bahwa AS tidak akan mendukung anggota NATO lainnya jika mereka diserang oleh pasukan Putin.

"Pernyataan itu bisa saja terbukti lebih berbahaya, karena dia tidak bisa diprediksi. Alasan lain Putin mendukung Trump juga karena akan sulit menangani seorang perempuan, ia tahu bahwa Clinton adalah seorang politisi sehingga akan sulit mendapatkan kepercayaan atas apa yang diinginkannya," jelas Konovalov.