Liputan6.com, Rio de Janeiro - Perhatian dunia kini tengah tertuju ke Rio de Janeiro, Brasil, tempat Olimpiade 2016Â tengah berlangsung. Mungkin tak banyak yang tahu bahwa ajang olahraga internasional kali ini termasuk yang bersejarah, mengingat untuk pertama kalinya terdapat satu tim tanpa negara alias pengungsi.
Dalam parade pesta pembukaan Olimpiade Rio 2016 mereka tampil tanpa mengibarkan lambang negara mana pun, melainkan bendera Olimpiade yang merupakan simbol persatuan dan kerja sama internasional. Ironis. Demikian seperti dikutip Vox, Selasa (9/8/2016).
Tim pengungsi yang "mewakili 19 juta pengungsi dan pencari suaka dari seluruh dunia" itu beranggotakan 10 orang. Pada dasarnya mereka terdiri atas dua regu.
Advertisement
Regu pertama adalah para atlet yang telah melarikan diri dari negara mereka dan mencari suaka. Ada yang berangkat dari Suriah ke Jerman dan Belgia, dari Ethiopia ke Luxemburg, dan dari Kongo ke Brasil.
Semua dari mereka sudah berpengalaman di kancah olahraga internasional. Dan pada beberapa kasus, kemampuan atletik mereka adalah "tiket" untuk melarikan diri.
Sebut saja dua pejudo asal Kongo, Popole Misenga dan Yolande Mabika, yang membelot selama ajang kejuaraan judo dunia yang juga berlangsung di Brasil pada 2013 lalu. Terdapat kekhawatiran dalam diri mereka terkait kondisi tanah air yang sejak lama telah diwarnai kekerasan.
Selain itu, seperti dilansir The Guardian, mereka juga mengaku tak lagi sanggup menghadapi pelatih nasional yang akan menyekap dan tak memberikan makan selama dua hari berturut-turut jika mereka kalah.Â
Ada pula kisah perenang asal Suriah, Yusra Mardini, yang melarikan diri dari negaranya dengan menyeberangi Laut Mediterania yang penuh bahaya. Perahu yang ditumpanginya rusak ketika posisi mereka berada di antara Turki dan Yunani. Tak punya pilihan lain, ia dan sang adik melompat ke laut dan bertindak sebagai kemudi manusia--berenang mengarungi lautan kurang lebih selama tiga jam.
Sementara itu, regu kedua terdiri dari lima pelari maraton asal Sudan Selatan. Mereka ditemukan dan dilatih oleh mantan atlet Olimpiade yang juga aktivis, Tegla Loroupe.
Sejumlah atlet seperti Misenga dan Mabika mengatakan, olahraga telah membantu mereka bertahan melewati fase "gelap" dalam kehidupan. Sementara para pelari dari Sudan Selatan mengaku sama sekali tak merasa sebagai atlet sebelum Loroupe menemukan mereka di Kakuma, salah satu kamp pengungsi terbesar di dunia.
Para atlet dari tim pengungsi ini dinilai adalah inspirasi dari simbol internasionalisme. Para pengungsi yang "terusir" dari lima negara itu disebut telah menunjukkan wujud dari ketabahan, kedisiplinan, dan keberanian yang luar biasa.
Meski demikian, mereka juga adalah simbol dari kegagalan masyarakat internasional.
Presiden Komite Olimpiade Internasional (IOC), Thomas Bach, mengatakan, meski tim pengungsi diketahui tidak memiliki rumah, bendera, serta lagu kebangsaan, IOC tetap memiliki komitmen untuk menempatkan mereka di perkampungan atlet bersama dengan peserta dari negara lainnya.
"Sepuluh atlet pengungsi akan ambil bagian dalam ajang Olimpiade Rio 2016. Ini sebagai simbol harapan bagi para pencari suaka di seluruh dunia dan menarik perhatian masyarakat global tentang krisis pengungsi yang semakin memprihatinkan," ujar Bach.
Krisis pengungsi yang memburuk
Ketika Olimpiade Musim Panas London 2012 berlangsung, saat itu jumlah pengungsi global hanya 11 juta dan kini telah melonjak sekitar tiga per empatnya menyusul terjadinya krisis baru atau semakin memburuknya krisis lama sehingga menyebabkan mereka tak dapat kembali ke rumah.
Sulit memang untuk menyamaratakan pengalaman pengungsi. Namun telah terjadi tren. Dan tren itu terus memburuk membuat krisis pengungsi mustahil diabaikan.
Pada 2015, tercatat sekitar 65 juta orang "dipaksa" meninggalkan rumah mereka. Banyak di antara mereka bertahan sebagai pengungsi di negaranya, namun 20 juta lainnya memilih mencari kehidupan baru di luar negeri di mana PBB melabeli mereka sebagai pencari suaka.
Lebih banyak jumlah pengungsi berarti lebih banyak bantuan dan perlindungan dunia internasional yang dibutuhkan, terutama dari negara-negara kaya mengingat 86 persen dari mereka berada di negara-negara berkembang.
Namun negara-negara kaya "terjebak" dalam perdebatan politik tak berkesudahan terkait apakah mereka bersedia membuka pintu bagi para pengungsi atau bahkan solusi lainnya.
"Apa yang kami lihat dan khawatirkan adalah ketidakadilan dalam paradigma perlindungan internasional. Ketakutan akan banjir pengungsi di negara-negara industri sangat berlebihan atau bahkan mereka keliru menggabungkannya dengan isu migrasi. Sementara negara-negara miskin harus menanggung beban," ujar mantan Komisaris Tinggi PBB untuk Pengungsi, Antonio Guterres.
Yang perlu dicermati bahwa saat ini jumlah pengungsi sekitar 1,7 kali lipat lebih banyak dibanding 2011 dan perdebatan politik di negara-negara kaya bukannya selesai namun justru semakin panjang dan rumit.
Salah satu pendorong krisis pengungsi ini adalah perang sipil di Suriah di mana telah menyebabkan 4,9 juta warga mengungsi. Beberapa dari mereka seperti Yusra Mardini berhasil melarikan diri ke Eropa sementara ada pula yang hanya mampu mencapai "garis depan" pengungsian seperti Yordania dan Turki.
Banjir pengungsi ini semakin diperparah dengan simpati kemanusiaan yang dibayang-bayangi oleh ketakutan akan terorisme, khususnya di kalangan negara Barat.
Laut Mediterania yang selama ini menjadi rute utama pengungsi untuk sampai ke daratan Eropa telah menjadi "kuburan" bagi ribuan pengungsi. Mereka tewas karena sering kapal yang mereka tumpangi kelebihan muatan atau bahkan tak cukup layak untuk berlayar.